Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kenegaraan dan peristiwa hukum adalah salah satu bentuk kesatuan dalam bernegara yang diselenggarakan oleh para penyelenggara negara. Kenegaraan tidak mungkin ada tanpa hukum, itu pasti. Akan tetapi, hukum yang tidak memadai untuk penyelenggaraan kenegaraan yang betul-betul yang diinginkan oleh bangsa dan negara ini sendiri patut untuk disadari.

Oleh karena itu, tidak dapat disangkal jika hukum dengan perangkat hukum dan penegak hukum serta kepemimpinan yang menyadari lebih dari sekadar hukum menjadi penting untuk menciptakan masyarakat yang mengerti disamping menghargai serta menghormati hukum secara kefilsafatan.

Peristiwa hukum dalam kenegaraan kita banyak yang disebutkan memiliki nilai yang rentan termanipulasikan dengan kepentingan kekuasaan. Kekuasaan sebagai produk dari sistem pemerintahan maupun kenegaraan dapat dipilah menjadi dua bagian penting yaitu pertama, kenegaraan yang menciptakan kenegarawanan dan kedua, pemerintahan yang cenderung menciptakan politikus. Kenyataan bahwa negara dan pemerintah dicampuradukkan sehingga menjadikan kesadaran hukum masyarakat semakin menurun.

Menurunnya itu diindikasikan oleh tingkat kekritisan masyarakat yang belum mampu memberikan arus perubahan yang berarti atas sistem pemerintahan yang mampu meningkatkan sistem kenegaraan yang berkualitas semakin tinggi. Inilah yang sebenarnya yang sungguh memungkinkan untuk dilakukan evaluasi dengan jalan agar rakyat tidak merasa dibohongi oleh sistem-sistem yang ada itu.

Baca juga:  Paus Akan Diterima Secara Kenegaraan

Bahkan pula dibohongi sekalipun tidak merasa dibohongi ini justru yang memilukan. Untuk itu, diperlukan kekuatan rakyat yang terus disadarkan. Penyadaran kekuatan rakyat ini sebenarnya justru lebih baik dari seluruh elemen negara dan pemerintaha itu sendiri kecuali jika memang kenyataannya sebaliknya yaitu setiap sistem yang ada baik di pemerintahan dan kenegaraan itu sendiri sebatas untuk melanggengkan kekuasaan yang ada.

Oleh karena itu sistem hukum kita dengan kenegaraan kita sebaiknya berangkat dari berbagai peristiwa hukum dan kenegaraan.

Pada kesempatan ini dapat disimpulkan bahwa kenegaraan sebetulnya tidak kuat secara moral namun sebatas perlu secara hukum. Ini sebenarnya tidak perlu dirisaukan namun ketika secara hukum tidak dapat dibuktikan suatu peristiwa dengan fakta maka secara kenegaraan pasti lemah. Inilah yang melahirkan sebuah postulat baru dalam bentuk peristiwa hukum dan kenegaraan yaitu pertama, kenyataan dengan fakta hukum mesti memperoleh jalur distribusi yang jelas jangan sampai ada fakta hukum namun dikatakan jalurnya tidak tepat.

Baca juga:  Vaksin COVID dan Perilaku Sosial

Mesti ada jalur yang disiapkan sebelumnya kalau tidak berarti sudah dipersiapkan kemungkinan adanya manipulasi hukum. Ini bukan tuduhan melainkan semacam asumsi tetapi fakta. Fakta adanya demikian.
Untuk itu diperlukan kepekaan hukum yang menembus hati nurani.

Hati nurani yang murni tidak terdampak oleh kekuasaan. Seterusnya diperlukan ketidaktakutan atas ketidakbenaran yang mungkin untuk terus dibuktikan secara cermat dengan membuka peluang kelembagaan yang paling mumpuni tidak sekedar sebagaimana yang masih ada sekarang ini. Perlunya bukan reformasi hukum melainkan pembongkaran dengan konstruksi hukum yang lebih terbarukan penting dilakukan sehingga ke depan kenegaraan ini semakin kokoh atas dasar kepercayaan yang murni dari rakyat.

Bukan sekedar kalkulasi suara misalnya sebagaimana dalam pemilu. Inilah yang melahirkan kelak adanya pertama, konstruksi kritis atas hukum dengan dasar filsafat hukum yang jelas orientasinya serta kedua, pentingnya kefilsafatan dasar dalam mengonstruksikan hukum yang bertalian erat secara kritis untuk membentuk kenegaraan yang memiliki kekritisan yang bijaksana atas keberaadan kekuasaan sehingga kekuasaan tidak menjadi sebuah kekuatan yang lemah dalam arti moral melainkan sebaliknya sebuah kekuasaan yang merendahkan hatinya terhadap kekuasaan yang manipulatif.

Baca juga:  "Manastapah" Bukan Ungkapan Sakit Jiwa

Oleh karena itu lahirlah kekuasaan yang tidak nepotis, kolutif maupun koruptif karena peristiwa hukum dihargai dengan menyediakan kekuasaan yudikatif yang luas jaringan distribusinya sehingga setiap fakta ada jalurnya yang lengkap selain jelas.

Kekuasaan yang manipulatif dihadapi secara rendah hati berarti pertama bahwa sadar diri atas lingkungannya dipenuhi manipulasi termasuk manipulasi yang terselubung sehingga pejabat yang tahu atasannya nepotis, kolutif dan koruptif mesti segera untuk mengundurkan diri saja ataupun segera keluar dari lingkungan itu sehingga kekuasaan tersebut menjadi sadar bahwa dirinya sedang dalam jalur yang salah.

Kedua, pentingnya tidak saja sekedar kesadaran moral atau bahkan etik ilmiah melainkan pula kesadaran bahwa kekuasaan itu hanyalah bagian dari rentang kejatuhan di masa depan jika melanggar ketentuan hati nurani secara mendasar dan mendalam sehingga peristiwa hukum dan kenegaraan memperoleh kekritisan hubungannya secara structural namun tidak berada dalam kondisi yang kritis manipulatif.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *