Oleh I.P.G. Sutharyana Tubuh Wibawa, S.Pd., M.Pd.
Pemerintah telah berupaya keras memperbaiki tata kelola ASN guru dengan mengangkat besar-besaran Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Harapan masa depan guru sejahtera pun semakin cerah serta banjir apresiasi dari insan pendidikan.
Di balik guru yang sejahtera, tentu akan sejalan dengan harapan SDM berkualitas tinggi yang tertarik menjadi guru. Salah satu yang menjadi sorotan adalah pengangkatan guru kelas SD. Ini karena kebutuhan guru kelas lumayan banyak dan memiliki urgensi tinggi.
Di balik pengangkatan besar-besaran guru kelas SD, terjadi inkonsistensi pola rekrutmen dan pola pengembangan karir profesi. Pada periode sebelumnya ketika guru SD direkrut sebagai CPNS, hanya lulusan S1 PGSD yang dapat mengisi formasi guru kelas SD.
Namun pada seleksi PPPK tahun ini, merujuk pada Surat Edaran Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemdikbudristek Nomor 2901/B/HK.04.01/2023, formasi guru kelas SD tidak hanya dapat diisi oleh alumni S1 PGSD, namun juga lulusan dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Kimia, Fisika, Sejarah, dan masih banyak lainnya.
Eklusivitas guru SD yang notabene mendidik mahasiswa dengan landasan operasional konkret terjerembab dengan jurusan lain yang sebenarnya diplot untuk mengajar di SMP dan SMA/SMK. Jika dalih merdeka mengajar membuat guru SD bisa diisi oleh alumni jurusan lain, tentu guru bidang studi semestinya bisa diisi oleh alumni PGSD.
Secara konseptual para guru dibekali dengan ilmu pedagogik, namun setiap jurusan memiliki target peserta didik dengan kematangan psikologis yang berbeda sehingga kekurangan guru SD tidak seharusnya menggeneralisir kebijakan pemerintah yang dapat mematikan masa depan lulusan para alumni PGSD. Secara empiris dapat dilakukan observasi/pembandingan pada siswa SD yang diajar oleh guru lulusan PGSD dengan bukan PGSD. Pendekatan yang diterapkan, komunikasi sosial-emosional, serta ritme mengajar sangatlah berbeda antara alumni PGSD dengan non-PGSD.
Pemerintah tak boleh menutup mata dengan mengabaikan aspek akademis. Apalagi rekrutmen PPPK berencana mengatur kontrak seumur hidup bagi para ASN. Jika ini terjadi, maka akar kuat yang dicanangkan sebelumnya melalui pembentukan jurusan PGSD akan sia-sia semata. Para calon mahasiswa terbaik akan kembali ragu, apakah memilih PGSD ataukah jurusan lain, atau malah non keguruan, mengingat alumni non-PGSD dan non-keguruan juga bisa menjadi guru SD.
Tukar guling mahasiswa melalui kampus merdeka sebenarnya sangat baik untuk memberikan pengetahuan dan kolaborasi yang positif dengan jurusan lain, akan tetapi ranahnya semestinya hanya pada level edukasi. Begitu mereka lulus, semestinya para lulusan ditempatkan sesuai dengan profesionalismenya.
Bukankah seperti itu hakikat profesionalisme dalam ASN. Jika mencontohkan profesi dokter, walaupun dokter spesialis kulit tahu cara mengobati penyakit mata, namun kewenangan profesi tidaklah bisa diberikan untuk mengobati penyakit mata. Hal mencengangkan lainnya adalah pada Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Begitu mulusnya jalan para guru yang berasal dari non-PGSD untuk mengikuti PPG dan menjadi guru profesional, sementara guru tersebut nantinya mengajar di SD. Padahal dalam ijazah PPG tertulis sebagai guru Bidang Studi bukan Guru Kelas SD. Semestinya para guru non-PGSD mengambil kuliah PGSD sebelum menjadi guru kelas SD profesional (tersertifikasi).
Perlu semacam ketegasan dalam regulasi dan kebijakan politik agar pondasi pendidikan dasar yang selama ini susah payah dibangun dengan mengadakan jurusan PGSD tidak goyah. Apalagi jenjang SD adalah yang terlama dalam sistem pendidikan. Jika selama 6 tahun siswa tidak diampu oleh guru yang tepat, maka niscaya rapuhlah pondasi pendidikan dasar siswa. Para lulusan PGSD pun nantinya akan menjadi pengangguran terdidik, bukan karena tidak mampu mengajar, namun karena dipaksa menjadi anak tiri pendidikan dengan kesempatan bersaing yang tidak seimbang.
Penulis, Kepala SD No. 2 Penarungan, mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan PGSD Undiksha