John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Hasil laporan lembaga PBB, Badan Meteorologi Dunia (WMO) yang bertajuk State of Climate in Asia 2023, mengingatkan kita terhadap dampak pemanasan global dan prubahan iklim yang semakin parah dan mengkhawatirkan. Jika kita terus berdiam diri dan tidak mengambil tindakan apa pun, maka bencana yang lebih mengerikan dari pandemi Covid-19, akan segera tiba. Menghadapi mega bencana yang belum ada presedennya ini, masyarakat dunia harus bersatu untuk mengambil langkah-langkah konkrit yang perlu, dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan cuaca. Apa yang bisa kita lakukan bersama?

Pemanasan global dan perubahan iklim yang semakin gawat ini, sudah diperingatkan oleh Prof. Stephen Hawking, seorang fisikawan Inggris dari Universitas Cambridge. Dalam salah satu wawacaranya dengan BBC News, sebelum wafatnya pada 18 Maret 2018, direktur penelitian Centre for Theoretical Cosmology itu, mengatakan bahwa pemanasan global yang sedang terjadi, akan tiba pada titik di mana umat manusia tidak mampu lagi untuk menghentikan atau mengoreksinya.

Ketika itu Hawking mengecam Presiden Donald Trump yang keluar dari kesepakatan Paris (Paris Agreement) 2015 sebuah traktat Internasional tentang mitigasi pemanasan global dan perubahan cuaca. Menurutnya, tindakan presiden AS itu mendorong bumi ke tepi jurang kehancuran, di mana planet bumi dapat berubah menjadi seperti Venus, dengan suhu dua ratus lima puluh derajat dan mengalami hujan asam sulfat.

Baca juga:  PDI-P dan Gagasan Partai Modern

Menurut ahli kosmologi itu, waktu sudah sangat mendesak. Manusia harus memanfaatkan momen ini untuk bertindak sekarang sebelum terlambat. Ia berteori, jika manusia terus fokus pada pertumbuhan ekonomi seperti selama ini, maka planet bumi akan semakin terkuras dan menjadi tak layak huni, akibat kepadatan penduduk dan konsumsi energi yang berlipat ganda. Karena itu, jika tidak ingin punah, manusia harus mulai berpikir untuk pindah ke planet lain yang layak huni dalam kurun waktu 100 tahun.

“Dalam kondisi sekarang ini, manusia perlu membangun rasa senasib dan sepenanggungan”, tandasnya. Artinya, kita harus melupakan perang antar sesama manusia. Dana besar yang dihabiskan untuk persenjataan, harus dialihkan untuk menyelamatkan bumi. Hanya dengan perasaan senasib dan sepenanggungan, kerjasama dapat digalang untuk menghadapi berbagai tantangan masa depan yang lebih besar. Hawking juga menyoroti pentingnya ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kritis, seperti: ketersediaan makanan dan air bersih untuk jumlah penduduk yang terus bertambah; penciptaan energi terbarukan; upaya memerangi penyakit, dan mengatasi perubahan iklim global.

Selama ini para ilmuwan cemas mengamati pola cuaca di kutub utara. Suhu di kota Verkhoyansk salah satu kota di wilayah Siberia, terdeksi mencapai suhu 38 derajat celcius pada Sabtu (20/6/2020). Catatan suhu itu menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah catatan suhu di wilayah Artik.

Baca juga:  Bebas Kawasan Kumuh Kota

Verkhoyansk merupakan kota dengan rentang suhu paling ekstrim di bumi, di mana titik terbawah musim dingin mencapai rata-rata -49 derajat celcius. Sedangkan suhu tertinggi pada musim panas sebelumnya hanya bertengger di angka 37,2 derajat Celcius. Terbayangkan jika daerah sekitar kutub bisa sepanas itu, bagaimana dengan tempat kita yang jauh dari sana?

Langkah Penanggulangan

Ada empat langkah sederhana namum realistik yang dapat diambil secara serentak untuk meminimalkan dampak pemanasan global dan perubahan cuaca. Pertama, konservasi lingkungan. Adalah merawat tempat di mana kita tinggal. Hal itu bisa dimulai dengan kegiatan menanam pohon dan penghijauan di berbagai lahan kritis. Pada setiap perayaan seperti, perayaan kelahiran, wisuda, pernikahan, atau bahkan kematian, ditandai dengan kegiatan menanam pohon di lahan kosong.

Kedua, menghemat dan menggunakan energi alternatif seperti dari panel surya, energi angin, atau bioenergi untuk mengurangi penggunaan energi berbahan bakar fosil, seperti minyak dan batubara. Sebagaimana kita ketahui, polusi udara di negeri kita, diakibatkan karena lebih banyak energi yang terpakai untuk kegiatan konsumtif daripada untuk kegiatan produksi. Sebagai contoh, pembelian mobil di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia di 2022 sebanyak 18 juta unit, belum terhitung sepeda motor. Jumlah kendaraan yang terus bertambah, tak hanya memacetkan jalan, tetapi juga menyumbang emisi karbon CO2, yang menyebabkan efek rumah kaca.

Baca juga:  Katup Sosial Krama Bali

Ketiga, mengelola sampah. Terdengar klise, tetapi langkah pertama dari bentuk kecintaan kita kepada planet bumi, adalah dengan memupuk kebiasaan mengelola sampah untuk membersihkan bumi sekaligus menghemat energi, mengingat ada sampah ulang yang bernilai ekonomis. Mengelola sampah adalah langkah yang sederhana dan terjangkau, karena setiap orang menghasilkan sampah, mulai dari sampah pribadi, sampah lingkup keluarga, RT, RW, Kelurahan, dan seterusnya. Apabila kebiasaan mengelola sampah ini serentak dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, niscaya dampaknya akan meluas sampai jauh.

Keempat, upaya pendidikan dan penyadaran kepada para siswa melalui sekolah dan warga masyarakat melalui berbagai gerakan, mulai tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan seterusnya. Gerakan-gerakan tersebut   fokus pada pemberian informasi yang gencar tentang ancaman pemanasan global dan perubahan cuaca. Pendidikan dan penyadaran semacam ini gampang diapresiasi, karena saat ini setiap orang telah merasakan dampak pemanasan global dan perubahan cuaca.

Penulis, pendidik dan pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *