Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Umumnya keinginan bunuh diri dilakukan sendiri. Jarang sekali kejadian bunuh diri dilakukan bareng-bareng. Kecuali ditemukan pada pengikut sekte tertentu dengan doktrin sang gurunya yang biasanya dikaitkan dengan gambaran tentang datangnya hari kiamat, dimana dengan cara bunuh diri mereka dijanjikan akan mendapatkan keselamatan, pembebasan atau kebahagiaan.

Diantaranya Sekte People Temple yang terkenal dengan peristiwa pembantaian “Jonestown” di Guyana tahun 1978 dengan korban jiwa  900 orang, lalu Sekte Kiamat di Uganda tahun 2000, menewaskan 350 orang lebih pengikutnya ; dan Sekte Order of Solar Temple di Swiss yang merenggut nyawa 74 orang (https://www.merdeka.com.dunia). Selain itu ada juga kasus bunuh diri yang terinspirasi kisah cinta pasangan romantis yang melegenda seperti  Romeo-Juliet (Inggris), Rara Mendut-Pranacitra (Jawa) atau Jayaprana-Layonsari (Bali).

Di Indonesia, tepatnya di Malang-Jawa Timur pernah juga terjadi kasus bunuh diri satu keluarga yang ditemukan mayatnya 12 Desember 2023 lalu, dan pemicunya diduga selain karena faktor ekonomi juga dihubung-hubungkan dengan praktik sekte tertentu. Tak kalah tragis, terjadi juga di Tukad Bangkung Petang-Badung, dua bersaudara (kakak-adik) melakukan bunuh diri dengan cara terjun bebas dari atas jembatan dengan ketinggian 70 meter (Senin, 27/5). Mirisnya, kemungkinan niat bunuh diri ini diinisiasi sang kakak (karena sudah dewasa : 23 tahun) dengan mengajak sang adik  (tergolong kanak-kanak : 5 tahun), yang tentunya belum mengerti tentang arti kehidupan.

Baca juga:  Pendidikan dan Resiliensi Ekonomi

Ada beberapa kondisi yang rupanya menyelimuti pelaku bunuh diri di Petang ini yang sepertinya secara psikologis tidak mampu menguasai atau mengelola emosi-jiwa hingga berujung depresi, frustrasi lalu mengambil jalan pintas bunuh diri. Pertama, yang bersangkutan telah kehilangan kedua orang tua (yatim piatu), sehingga merasa tidak ada lagi sandaran atau penuntun hidupnya. Ditambah lagi keadaan kakak tertuanya yang berkebutuhan khusus (disabilitas), dan menjadi beban tersendiri. Kedua, secara ekonomi, tergolong keluarga tidak mampu (miskin), diperberat lagi dengan dicabutnya status sebagai penerima bantuan sosial. Ketiga, kurangnya kedekatan  keluarga besar (ngarep) atas keadaan yang bersangkutan untuk bisa dibicarakan dengan pihak luar (pisaga) guna dicarikan solusi, terutama menyangkut perekonomian.

Baca juga:  Optimalisasi Perpustakaan sebagai Sumber Belajar

Keempat, masyarakat sekitar terkesan  tidak  menunjukkan rasa simpati dan empati atas nasib tidak baik yang dialami bersangkutan. Kelima, akibat kurang terbukanya informasi dari pihak keluarga, menjadikan pihak aparat (banjar/desa) seperti tidak  rungu terhadap permasalahan berat yang dihadapi, dan Keenam, aturan pemerintah terkait bantuan sosial bagi keluarga tidak mampu terlalu mementingkan prosedur daripada tindakan manusiawi.

Di sisi lain, terutama untuk mengantisipasi terulangnya kejadian serupa, mengingat tindakan bunuh diri sudah terjadi  untuk  kesekian kali di lokasi yang sama. Maka, perlu dilakukan beberapa langkah, baik secara sakala maupun niskala. Secara sakala (nyata), sebaiknya sisi pinggiran jembatan Tukad Badung dilakukan pemagaran (besi) dengan ketinggian di atas rata-rata dimana pada bagian ujung atas dibuatkan lekukan ke arah jalur jalan. Tak lupa dibuatkan semacam pos pantau (bisa juga dilengkapi cctv) untuk secara rutin mengamati gerakan para pelintas/pengunjung. Sehingga ketika ada gelagat mencurigakan sebagai indikasi tindakan mengarah bunuh diri seperti hendak meloncat dari jembatan bisa cepat dicegah.

Sedangkan secara niskala, karena bentang alam Bali, di manapun lokasi atau posisinya, tak pernah lepas dari unsur gaib lengkap dengan aura magis dan mistisnya. Oleh karenanya, agar tidak menimbulkan daya magnetis yang membuat orang  tergerak (kedaut) melakukan perbuatan negatif (bunuh diri), apalagi sudah terbukti terjadi berulang kali, maka sepatutnya : 1) mendirikan Palinggih Tugu Pengadang-adang (sthana Hyang Bahureksa/Hyang Ganabala/prajurit Dewa Gana), lebih baik lagi dilengkapi arca Ganesha sebagai Dewa Wighneswara (penghadang/penghalang gangguan/ancaman; 2) melaksanakan piodalan atas adanya palinggih tersebut di atas; dan 3) selalu mengadakan upacara panebusan, panglukatan dan atau pembersihan di lokasi terjadinya peristiwa bunuh diri itu.

Baca juga:  Saat Anak Nikah, Ayah Ditemukan Meninggal di Tegalan

Diharapkan sekaligus dimohonkan agar keberadaan jembatan Tukad Bangkung di Petang yang begitu indah itu tidak menjadi ikon negatif sebagai tempat “terindah” melakukan niat bunuh diri (ulah pati) yang dalam keyakinan Hindu sangat dilarang karena menyebabkan dosa besar dan sang roh akan berada di alam kegelapan (asurya loka) – mengalami siksa neraka berkepanjangan.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *