Oleh John de Santo
Keberanian intelektual adalah fenomena yang mencuat di ruang publik selama tahun politik menjelang Pemilu 2024. Sinyal keberanian intelektual untuk mengatakan kebenaran itu tertangkap melalui rangkaian gelombang petisi dari berbagai kampus, unjuk rasa mahasiswa, perdebatan, dan rangkaian diskusi mengenai topik-topik menyangkut kehidupan berdemokrasi, seperti: film dirty vote, pemilu, dan gerakan sahabat pengadilan (amicus curie), dan keputusan MK (Mahkamah Agung).
Ikon keberanian intelektual tersebut tercermin dalam diri tokoh kontroversial Bung Rocky Gerung yang tanpa tedeng aling-aling mengemukakan kritik-kritiknya yang tajam, ironis, sarkastik, bahkan dinilai merendahkan resim yang sedang berkuasa. Ternyata semua baik-baik saja.
Semua menerima hasil keputusan MK. Tidak terjadi polarisasi apalagi kerusuhan. Masyarakat sepertinya semakin dewasa dalam hal menerima kritik dan tidak gampang terhasut. Apakah ke depannya kita tetap membutuhkan keberanian intelektual untuk merawat demokrasi?
Menurut hemat penulis, keberanian intelektual merujuk pada kesadaran terhadap kebutuhan untuk bergulat dengan ide, keyakinan, atau sudut pandang, yang terhadapnya orang memiliki emosi negatif yang kuat. Padahal mungkin saja ide, keyakinan, atau sudut pandang itu belum didengarkan dan dipahami secara utuh. Keberanian intelektual berasosiasi dengan pengakuan bahwa, ide-ide yang mungkin dianggap berbahaya atau bahkan absurd oleh orang kebanyakan, kadang-kadang justru dapat dibenarkan secara rasional, baik sebagian atau seluruhnya. Kesimpulan atau keyakinan yang dianut seseorang, acap kali salah atau menyesatkan. Untuk menentukan, apakah kesimpulan atau keyakinan itu masuk akal, orang tidak boleh secara pasif menerima begitu saja tanpa pertimbangan kritis. Di sinilah keberanian intelektual berperan, karena sejarah mencatat, bahwa sejumlah ide yang awalnya dianggap salah dan berbahaya, karena bertentangan kepentingan orang atau kelompok tertentu, belakangan terbukti benar dan mencerahkan.
Sejarah juga mencatat bahwa, distorsi terhadap sebuah ide atau sudut pandang, terkadang dipegang teguh oleh orang atau kelompok sosial tertentu, untuk melindungi kepentingannya. Pada konteks ini, kita membutuhkan keberanian untuk berpikir secara terbuka, obyektif, dan adil. Keberanian intelektual juga merupakan komponen penting bagi pertumbuhan kepribadian dan profesionalitas. Karena ia merujuk pada kesediaan untuk menghadapi ide, keyakinan, atau sudut pandang yang menantang, bahkan membangkitkan resistensi yang kuat karena dianggap bertentangan dengan norma-norma sosial.
Keberanian intelektual mengandaikan kemampuan untuk berpikir terbuka, bersedia menggugat asumsi-asumsi yang dianggap normatif, mengakui kesalahan, mencari umpan balik, dan mengekspresikan ide-ide yang tidak konvensional.
Wacana Politik
Perlu kita akui, keberanian intelektual berperan dalam masyarakat demokratis. Penting bagi warga negara untuk memiliki keberanian intelektual supaya mereka dapat terlibat dalam pemikiran kritis, dengan mempertimbangkan berbagai sudut pandang, termasuk bersedia menguji keyakinan mereka sendiri terhadap sebuah isu yang sedang berkembang.
Dalam lingkungan demokratis, di mana perbedaan pendapat dan ideologi selalu berdampingan, keberanian intelektual memungkinkan warga negara untuk menavigasi wacana politik berdasarkan keterbukaan, keadilan, dan rasionalitas. Warga negara yang memiliki keberanian intelektual, cenderung mendengarkan pandangan yang berbeda atau berlawanan. Ia juga ingin terlibat dalam perdebatan yang berkontribusi terhadap pertukaran ide sebagai pembentuk fondasi demokrasi.
Barangkali atas alasan itu, Rocky Gerung mendapatkan tempat di ruang publik. Meskipun sudah beberapa kali berurusan dengan hukum, langkah filsuf itu tak surut. Dia bahkan diundang untuk berceramah ke berbagai kampus dan instansi pemerintah dan swasta untuk mengajak generasi muda menanggalkan pola pikir monolit yang membuat mereka tumpul dan tidak kritis dalam menilai situasi yang terus berubah.
Terbukti, keberanian intelektual tidak memecah belah persatuan. Sebaliknya, ia menciptakan ruang bagi toleransi dan empati. Mengapa? Karena keberanian intelektual mendorong individu untuk mengakui validitas pendapat lain, bahkan bersepakat untuk tidak sepakat. Kemampuan berempati terhadap lawan politik akan menumbuhkan rasa saling menghormati dan pengertian, sehingga mengurangi polarisasi sekaligus mempromosikan persatuan dalam perbedaan.
Dalam ranah politik, keberanian intelektual juga dapat memfasilitasi resolusi konflik dengan mendorong warga negara untuk mencari titik kompromi dan solusi terhadap persoalan demi kebaikan bersama. Dengan kata lain, aspek keberanian intelektual sangat diperlukan dalam proses pengambilan keputusan yang demokratis, di mana konsensus menjadi hal krusial.
Selain mempromosikan pemikiran kritis, keberanian intelektual juga tak selalu bertentangan dengan keyakinan politik tertentu. Ia bahkan dapat meningkatkan komitmen seseorang terhadap keyakinan politiknya sendiri dengan mendorong yang bersangkutan mengevaluasi dan memperbaiki posisinya, berdasarkan informasi atau perspektif baru.
Keseimbangan antara kerendahan hati intelektual dan keyakinan politik penting bagi perkembangan demokrasi, di mana semua warga negara diajak terlibat. Sejumlah kajian baru menunjukkan bahwa, demokrasi yang sehat membutuhkan kerendahan hati intelektual.
Ketika warga negara rendah hati secara intelektual, mereka tidak mudah terhasut, menjadi lebih toleran dan menghormati orang lain, serta menunjukkan empati terhadap lawan politik. Namun demikian, demokrasi juga membutuhkan orang-orang dengan keyakinan politik yang kuat. Karena jika katakanlah seorang anggota dewan tidak memiliki keyakinan politik, ia akan terombang-ambing, atau apatis untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan demokratis.
Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka