Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Terhitung per tanggal 20 Mei 2024 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA).

Peraturan Pemerintah tersebut merupakan penjabaran dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Namun Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran, baik dari sisi pelaku usaha maupun pekerja. Karena akan menambah beban bagi pekerja sebesar 2,5 persen dan pemberi kerja sebesar 0,5 persen, dari nilai gaji pekerja.

Utamanya bagi pelaku usaha, karena selama ini telah dibebani berbagai pungutan/iuran. Saat ini total beban pungutan yang telah ditanggung pemberi kerja berkisar antara 18,24 hingga 19,74 persen dari gaji pekerjanya. Hal ini meliputi: pertama, Jaminan sosial ketenagakerjaan yang meliputi jaminan hari tua sebesar 3,7 persen, jaminan kecelakaan kerja sebesar 0,24 – 1,74 persen, jaminan kematian 0,3 persen, dan jaminan pensiun 2 persen. Kedua, jaminan sosial kesehatan sebesar 4 persen.

Baca juga:  Komitmen Bersama untuk Mencapai Zona Integritas

Ketiga, cadangan pesangon berdasar UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebesar 8 persen (sesuai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 24 Tahun 2004). Beban pungutan yang selama ini sudah ditanggung pemberi kerja memang cukup berat.

Kebutuhan Rumah

Harus diakui bahwa sektor perumahan/property memiliki kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi. Data memang menunjukkan bahwa penyelesaian backlog (kekurangan rumah) di Indonesia cenderung lamban. Dalam satu dasawarsa terakhir angka backlog hanya turun 10 persen.

Pada tahun 2022 keluarga yang belum memiliki rumah tercatat 12,7 juta. Sementara laju penambahan kebutuhan rumah per tahun berkisar pada angka 600.000 hingga 800.000, seiring dengan bertambahnya keluarga baru.

Situasi ini tentu harus ditunjang dengan upaya pemenuhan kebutuhan rumah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini agar angka backlog dapat
terus menurun secara signifikan.

Baca juga:  Tapera Tak Masuk Akal untuk Bali

Pemerintah baru periode 2024-2029 telah menjanjikan akan memberi tunjangan pada 3 (tiga) juta rumah per tahun. Hal ini berarti 3 (tiga) kali lipat dibandingkan
dengan yang dilakukan pemerintahan saat ini
(satu juta rumah per tahun).

Peningkatan jumlah pembangunan rumah ini ttentu memerlukan anggaran subsidi yang lebih besar. Guna menyiasati kondisi ini ada usulan untuk meninjau ulang
definisi MBR (masyarakat berpenghasilan rendah) yang berlaku selama ini.

Jika selama ini MBR adalah kategori masyarakat berpenghasilan maksimal 8 juta rupiah per bulan, maka diusulkan bahwa MBR yang berhak memperoleh subsidi diperluas hingga penghasilan 12 hingga 15 juta rupiah per bulan.

Data selama ini juga menunjukkan bahwa debitur peserta KPR cenderung melunasi kredit rumahnya setelah memasuki tahun ke-10, meskipun tenor yang
diambilnya berjangka waktu lebih dari 10 tahun. Hal ini dilakukan guna menghindari pembayaran bunga pinjaman, serta seiring dengan adanya peningkatan penghasilan yang mencukupi. Pembentukan BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan)
merupakan salah satu harapan dalam mempercepat penyediaan rumah umum layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Baca juga:  2017, Harga Properti Residensial di Pasar Sekunder Naik

BP3 sendiri telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden
Nomor 9 Tahun 2021; sebagai tindak lanjut UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Juga dapat dilakukan optimalisasi dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Ketenagakerjaan sesuai PP Nomor 55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Jaminan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.

Aset dalam jaminan sosial hari tua dapat dimanfaatkan untuk program manfaat layanan tambahan perumahan pekerja. Program ini mencakup kredit pemilikan rumah sampai maksimal 500 juta rupiah, pinjaman uang muka perumahan sampai dengan 150 juta rupiah, pinjaman renovasi perumahan sampai dengan 200 juta rupiah,
dan fasilitas kredit konstruksi.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *