Oleh Marjono
Pascatragedi study tour atau dalam bahasa Jawa dan gampangnya adalah piknik yang menelan 11 korban jiwa dari SMK Lingga Kencana Depok Jawa Barat (11/5), tak sedikit pihak yang mengkambinghitamkan sekolah, namun beberapa pihak juga menguatkannya. Rasanya kita tak perlu reaktif, apalagi nasi sudah menjadi bubur, yang perlu dilakukan adalah pencegahan bukan pelarangan.
Penulis sulit untuk tidak bersepakat dengan SE Walikota Depok, Mohammad Indris di antaranya, yakni sekolah yang merencanakan study tour mesti memperhatikan sisi keamanan dan kenyamanan kendaaan, termasuk PO, kendaraan cadangan pengganti, penting dilakukan mitigasi seperti KIR, ramp check sekurangnya H-2 atau H-3 sebelum pemberangkatan.
Tak kalah pentingnya, melakukan koordinasi dengan institui terkait, yaitu Kepolisian, Dinas Pendidikan, Dinas Perhubungan, Perusahaan Asuransi (liputan6.com, 15/5). Selain itu sertifikasi driver dan teknisi harus ada jaminan pula dari safety-nya. Mengapa kita lebih cakap menghukum sekolah atau anak-anak kita, hanya kebetulan pikniknya mengalami kecelakaan lalulintas. Mungkin kita menjadi egois dan tidak adil tiba-tiba melarang agenda piknik tersebut.
Kita tak usah memungkiri, saat kita duduk dibangku sekolah, dapat dipastikan akan merasa senang ketika sekolah menggelar kegiatan piknik. Lantas bagaimana, jika agenda tersebut sudah dipublikasikan dan ditawarkan sejak mereka masuk sekolah dengan cara menabung, secara mendadak di cut off gegara adanya kasus Subang? Di beberapa sekolah bahkan ada yang study tour ke luar negeri aau berpesawat ke kota besar di negeri ini.
Dilansir wisatasekolah.com, study tour atau apapun sebutan lainnya, secara substantif punya kemanfaatan yang dapat memberikan pengalaman yang tidak ditemukan di kelas, menemukan sumber informasi secara langsung. Di samping itu, study tour juga bakal menjulangkan pengalaman menarik bagi siswa, menaikkan minat belajar bidang secara personal, juga membiakkan kesadaran menjaga lingkungan sekaligus.
Itu semua tentu akan melempangkan lifeskill lainnya, selain mengedukasi rajin menabung sejak awal, mencari ilmu dan wawasan bahkan pengalaman dan sensasi baru, tentu kita lagi-lagi tak boleh menafikan suntuknya kegiatan belajar mengajar dari civitas akademika sekolah. Maka kemudian, agenda yang sudah dirancang jauh hari yakni piknik menjadi katarsis dalam himpitan belajar dan besenang-senang. Bukankah pendidikan harus meriangkan aktor dan spirit di dalamnya.
Kalau ada pihak yang kontra dengan ke-piknik-an sekolah dan anak-anaknya yang berdalih pemborosan, memberatkan bahkan hanya berorientasi happy, bermain apalagi beralasan tak perlu jauh-jauh, maupun ada yang berlindung di bawah payung outclass, ya sah-sah saja. Mengapa orangtua kala bersekolah bisa piknik, tapi mengapa saat giliran anak-anak kita berpiknik dilarang. Wapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka pun tak sepakat study tour dilarang, “Nggak masalah (study tour). Study tour justru jangan dihilangkan. Dia menilai aspek pengetatan terhadap armada transportasinya saja yang lebih diutamakan,” tandasnya (Tempo, 19/5).
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian memberikan tanggapan kritis terhadap kebijakan yang melarang kegiatan study tour pelajar, “Yang harus disasar adalah pokok masalahnya, yaitu kelaikan kendaraan dan sistem manajemen kegiatan tersebut. Bukan salahnya program study tour apalagi kesalahan siswanya, keliru kalau yang dilarang study tour-nya.” (serayu.news, 19/5). Berbeda dengan Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan, dirinya setuju jika study tour dihilangkan. Menurutnya, jika study tour dilakukan ke tempat wisata, maka itu dinamakan healing, bukan study tour (Kompas, 16/5).
Sebagian dari kita barangkali lupa kalau mengunjungi tempat wisata itu bagian dari studi. Wisata saja ada yang berlatar edukasi, histori, religi, maritim, konservasi, agrowis/agribis, dan destinasi lainnya. Mungkin kita akan bertanya-tanya, jika berpariwisata Ke Candi Borobudur itu masuk kategori apa: studi atau healing? Sulit rupanya kita membelahnya. Jika pun study tour benar-benar dilarang, tentu akan bergeser pada pertanyaan lain, misalnya apa yang membedakan dengan agenda kunjungan kerja, studi tiru, benchmarking, peningkatan kapasitas SDM di luar kota, pulau bahkan luar negeri?
Hemat penulis, study tour, piknik, kunker atau apapun namanya intinya ya menimba ilmu sambil menangguk riang. Study tour hanya nama sebuah bunyi, cuma soal narasi, redaksional atau tajuknya saja yang berlainan. Terbitnnya pelarangan study tour di beberapa daerah, sekurangya akan turut berdampak pada dunia usaha hotel dan restoran dan pelaku pariwisata lainnya (UMKM, Biro dan tour leader, petani, kelompok seni budaya, dll). Tak sekadar pandapatan asli daerah akan turun, tapi juga melemahkan ekonomi masyarakat, apalagi seperti Joga, Bali, Bandung, dan kota lainnya yang acap menumpukan PAD pada sektor pariwisata dalam membangun daerahnya. Itulah kemudian, study tour ini merupakan media berbagi: ilmu, rezeki dan emosi. Juga menopang dua kaki utuh, deru buku dan detak masyarakat.
Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal Jawa Tengah