DEPOK, BALIPOST.com – Risiko rokok elektrik dapat lebih tinggi daripada rokok konvensional. Hal itu dikatakan Ketua Umum Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (UI) Ir Aryana Satrya, M.M., Ph.D., IPU, ASEAN Eng.
“Saat ini anak muda menjadi target pemasaran rokok, karena mereka cenderung loyal pada merek rokok pertama yang dikonsumsi. Rentang waktu perokok yang panjang memberikan keuntungan besar bagi pabrik rokok,” kata Aryana Satrya di Depok, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Rabu (12/6).
Ia mengatakan, anak muda merupakan segmen pasar yang luas dan terbuka, karena mudah terpengaruh oleh hal yang baru, unik, dan menarik, serta selalu mengikuti tren, termasuk rokok.
Berdasarkan riset yang dilakukan, harga rokok dan teman sebaya menjadi dua faktor paling berpengaruh bagi anak muda yang merokok.
Hal ini sesuai dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang menemukan adanya peningkatan persentase perokok usia muda (di bawah 18 tahun) dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018).
Di kalangan anak muda, rokok elektrik makin populer dan penjualannya mudah ditemukan di Indonesia. Setiap daerah setidaknya memiliki sepuluh tempat penjualan atau retail rokok elektrik.
Asumsi publik pun berkembang bahwa rokok elektrik memiliki risiko lebih rendah dibandingkan rokok konvensional.
Padahal, kata Aryana, risiko keduanya sama, karena sama-sama mengandung nikotin dan menyebabkan gangguan kesehatan.
“Rokok elektrik bukanlah substitusi rokok konvensional, namun sebagian besar pengguna rokok elektrik adalah pengguna rokok konvensional,” katanya.
Dual-user ini memiliki probabilitas mengidap penyakit dan komplikasi lebih tinggi, produktivitas lebih rendah, serta pengeluaran kesehatan lebih tinggi dibandingkan single-user rokok. Dengan demikian, daripada beralih ke rokok elektrik, alternatif terbaik adalah berhenti merokok.
Tak hanya berdampak terhadap kesehatan, konsumsi rokok juga berdampak pada perekonomian. Dalam lingkup rumah tangga, meski peningkatan belanja rokok sebesar satu persen, hal itu berpengaruh signifikan pada kondisi ekonomi keluarga.
Kenaikan ini dapat meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6 persen dan memperburuk kesejahteraan keluarga yang sudah rentan secara ekonomi.
Ketika anggaran rumah tangga dialokasikan lebih banyak untuk rokok, dana yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok seperti makanan bergizi, pendidikan, dan kesehatan justru terabaikan.
Dalam lingkup yang lebih luas, yakni perekonomian negara, beban biaya kesehatan pada penyakit yang disebabkan oleh rokok mencapai Rp27,7 triliun setiap tahunnya.
Angka ini mencakup biaya perawatan medis untuk berbagai penyakit akibat rokok, termasuk penyakit jantung, kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan lainnya.
Beban ini tidak hanya merugikan individu dan keluarga, tetapi juga sistem kesehatan nasional yang harus menanggung biaya perawatan, serta kehilangan produktivitas akibat penyakit-penyakit tersebut.
Untuk itu, sebagai upaya penanganan masalah tersebut, Aryana merekomendasikan implementasi kebijakan pengendalian konsumsi rokok MPOWER yang dibuat WHO.
M–monitoring tobacco use and prevention policies (memuat kebijakan pencegahan dan pemantauan penggunaan tembakau). P–protecting people from tobacco smoke (melindungi masyarakat dari rokok). O–offering help to quit tobacco use (menawarkan bantuan untuk berhenti menggunakan produk tembakau). W–warning about the dangers of tobacco (peringatan tentang bahaya produk tembakau). E–enforcing bans on tobacco advertising, promotion, and sponsorship (menegakkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok). R–raising taxes on tobacco (menaikkan pajak atas produk tembakau).
“Semua usaha, terutama yang berkaitan dengan non-harga, diatur dengan rencana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif, termasuk rokok,” katanya.
Misalnya, meningkatkan peringatan bahaya rokok dari 50 persen menjadi 90 persen, serta membatasi iklan-iklan yang bertebaran di TV dan internet. (Kmb/Balipost)