DENPASAR, BALIPOST.com – Banyak yang menyebut Tapera menguntungkan dan membantu dalam mengelola keuangan keluarga. Namun yang menjadi permasalahan adalah ketidakpercayaan masyarakat akan pemerintahan di era Jokowi, saat program ini diumumkan.
Menurut Pengamat Ekonomi Viraguna Bagoes Oka, Jumat (15/6) kepercayaan masyarakat sangat dibutuhkan dalam suatu pemerintahan agar program-program yang dijalankan pemerintah sukses. Menurutnya, filosofi dari program Tapera dengan potongan 3 persen dari gaji sangat bagus dan kecil dibandingkan gaji yang diterima.
Dengan masa kerja 20-25 tahun, paling tidak terkumpul Rp 75 juta. “Manakala dia mengundurkan diri maka sudah bisa dihitung rata dan akan sangat bermanfaat,” ujarnya.
Hanya saja pengelolaan dana Tapera harus dikelola secara tranparan, responsible dan fairness. Ini, dinilainya sangat mulia, sama dengan tabungan berjangka.
Bahkan di Jepang program pengelolaan keuangan ini telah dilakukan dengan membantu penataan keuangan keluarga dilakukan sejak dini.
Namun prakteknya di Indonesia karena di pemerintahan Indonesia yang hanya berdurasi lima tahunan membuat program cepat berubah dan pengelola dana tersebut tentu akan berubah sesuai dengan kepentingan politis dari pemimpin yang baru.
Tak hanya itu program Tapera memiliki landasan yang kuat yaitu UU nomor 4 2016 dan turunannya berupa PP 25/2016. Spiritnya menurutnya bagus hanya saja momentum dan sejarah perjalanan yang tidak bagus karena sebelumnya dana Tapera tidak bisa dipertanggungjawabkan secara akuntable.
“Apalagi ada kasus kasus kasus karyawan yng sudah bekerja dan pensiun sampai meninggal pun tidak mendapatkan dananya, itu tercatat Rp 500 Miliar. Akibat dari kasus ini kepercayaan masyarakat pun hilang dengan program program yang digelontorkan masyarakat. Jika tingkat kepercayaan masyarakat ini memudar, maka berbahaya bagi suatu pemerintahan, programnya tidak akan sukses,” ujarnya.
Kasus hilangnya dana Tapera sebelumnya terjadi, menurutnya, karena pengelolaan dana tersebut berada di bawah kendali pemerintah sehingga kebijakan pemerintah sering kali membuat kendala kendala dalam pengelolaan dana tersebut.
Dana tersebut merupakan dana idle masyarakat dan dana idle ini ada bunganya. Namun karena pengelolaannya di bawah pemerintah yaitu Kemenkeu, sehingga sering kali dalam mengelola dana, kala terjadi shortage keperluan dana dari instansi/lembaga pemerintah lainnya bisa dipinjam dari dana, seperti Tapera ini.
“Ini tidak sehat, kalau ini terjadi, akhirnya akuntabilitas dan pertanggungjawabannya tidak bisa akuntable,” pungkasnya.
Maka solusi yang bisa ditawarkan adalah dana tersebut harus dikelola oleh badan yang betul betul kompatible, kredible dan trusted, misalnya Bank Indonesia.
Ia menampik penolakan Tapera karena berdampak pada daya beli masyarakat. Alasannya, potongannya sangat kecil. Karena jika dana dari gaji dikelola oleh keluarga itu sendiri, yang terjadi adalah tidak terkontrol. Sebab, sering kali masyarakat sulit membedakan antara keinginan dan kebutuhan. (Citta Maya/balipost)