Oleh I Gst. Ag. Kt. Sudaratmaja
Pascapandemi Covid-19, berkembang minat pariwisata berbasisis NEWA yaitu: Nature, Eco, Wellness and Adventure. Minat ini mengarah ke pedesaan dengan kondisi low touch and less crowd atau jauh dari keramaian, dengan semboyan 3P yaitu: Planet (alam), People (manusia) dan Prosperity (kesejahteraan). Pedesaan memang merupakan basis peradaban, budaya, tradisi, ilmu pengetahuan dan keragaman hayati yang dipadu dengan bentang alam sebagai modal dasar NEWA. Jika potensi pedesaan itu mampu dikelola, maka dapat menjadi unique selling point yang menjanjikan bagi masyarakat pedesaan.
Tanpa kita sadari selama ini kemajuan pedesaan masih kita posisikan untuk bisa mengejar dan setara dengan perkotaan dengan alasan pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur di pedesaan secara perlahan dan masif, menghilangkan ciri rural yang merupakan komponen NEWA demi mengejar predikat urban (perkotaan) sebagai simbul kemajuan. Hal ini tentu menjadi paradoks dengan konsep pariwisata berbasis NEWA yang kita diskusikan.
Fakta menunjukkan di Bali kawasan perkotaan semakin meluas dan wilayah pedesaan kian menyempit. Kita juga semakin kehilangan relung alam berupa: sawah, ladang, tebing, jurang, pangkung, pancoran, karang bengang, teba, telajakan bahkan pekarangan rumah juga semakin menyempit. Semua itu diikuti dengan hilangnya keragaman hayati yang ada di dalamnya. Tiba-tiba pascapandemi Covid-19 dengan adanya kesadaran tentang kesehatan, ketenangan, kenyamanan dan katarsis, justru semua yang hilang tadi dirindukan lagi keberadaannya.
Sekadar mengingat kembali, penulis perlu jelaskan sepintas pengertian dari komponen NEWA tersebut: Nature Tourism; yaitu perjalanan wisata yang mengapresiasi pemandangan alam, satwa liar yang masih alami ada di dalamnya; Eco Tourism; adalah perjalanan wisata ke wilayah yang alamnya masih asli, menghargai warisan budaya dan alam, mendukung konservasi yang bernilai sosial dan ekonomi serta menghargai partisipasi masyarakat lokal; Wellness Tourism; yaitu perjalanan dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan seseorang, bukan hanya perjalanan yang fokus pada kesehatan fisik, tetapi juga psikologis dan spiritual, dan Adventure Tourism; yaitu kegiatan wisata yang mengandung resiko, membutuhkan keterampilan dan peralatan khusus, serta interaksi aktivitas fisik dengan alam dan atau budaya.
Bagaimana Menyikapi?
Dalam konteks NEWA, budaya dengan bentang alam dan kekayaan hayati yang ada di dalamnya dengan sentuhan entrepreneur maka menjadilah tourism. Mengingat kondisi geografis Bali yang relatif kecil dibanding Provinsi lain di Indonesia, maka tidak mungkin mem-branding Bali berkaitan dengan objek wisata/pembangunan dengan predikat terbesar, terluas, termoderen dan sejenisnya. Memperhatikan sumberdaya yang ada, maka upaya yang cocok adalah membangun branding Bali dengan produk wisata ‘’terunik atau spesifik’’. Dengan demikian semboyan dan peluang yang sesuai adalah menjadikan NEWA di Bali dengan predikat: number one or only one in the world.
Kabupaten Badung sebagai pusat pariwisata di Bali, melalui kegiatan di Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) bekerja sama dengan Institut Pariwisata dan Bisnis (IPB) Internasional, tengah mengindentifikasi potensi pengembangan pariwisata berkelanjutan berbasis NEWA pada Desa Wisata di Kabupaten Badung. Setidaknya ada sekitar 17 Desa Wisata yang tersebar di Kecamatan Mengwi, Abiansemal dan Petang sedang dikaji potensinya merujuk pada konsep NEWA.
Seperti penulis sebutkan di depan, kiblat NEWA adalah pedesaan yang terlepas dari hingar bingar perkotaan sehingga hal ini adalah porsi dan juga peluang untuk desa-desa di Badung Utara (Kecamatan Mengwi, Abiansemal dan Petang) dalam rangka keep balancing kepariwisataan antara Badung Utara dengan Badung Selatan yang selalu menjadi aspirasi dan apresiasi publik.
Pada diskusi laporan awal pengkajian tentang hal ini di Brida Badung, telah mengerucut beberapa pemikiran bahwa sebagai daya tarik, maka tidak mungkin Desa Wisata memiliki semua komponen NEWA. Namun dapat dipastikan setiap Desa Wisata mampu mengidentifikasi secara partisipatif daya tariknya yang dominan sebagai unique selling point, dengan tetap memperhatikan komponen yang lain. Di samping itu mengemuka juga aspek aksestabilatas, faktor pendukung dan kelembagaan yang selama ini masih lemah, sehingga perlu terus diperkuat dan dibenahi.
Ada secercah harapan jika konsep NEWA ini terwujud sebagai respon tred pariwisata pasca pandemi Covid-19. Bagi Kabupaten Badung setidaknya terjawab adanya pemerataan pengembangan pariwisata ke Badung Utara sekaligus menjawab kekroditan aktivitas (lalu lintas) di Badung Selatan yang sering menjadi keluhan. Selanjutnya perhatian terhadap kelestarian lingkungan, keindahan bentang alam, keragaman hayati, tradisi dan budaya, harmoni kehidupan pedesaan, tata ruang, arsitektur bangunan, pangan organik dan sebagainya menjadi kewajiban dan di antaranya mungkin perlu diatur dengan penguatan regulasi.
Penulis, Tim Perumus Kebijakan Brida Kabupaten Badung