Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh  Agung Kresna

Kawasan Sanur selama ini menjadi kawasan hunian yang tenang, sehingga menjadi incaran hunian banyak wisatawan asing maupun kalangan artis Jakarta yang mendambakan kawasan tenang di Bali namun relatif dekat dengan pusat kota. Namun, belakangan ini situasi telah mulai berubah menjadi wilayah yang krodit dan diwarnai kemacetan lalu lintas.

Kondisi ini mulai dirasakan warga penghuninya sejak kawasan Sanur mulai dijadikan wilayah pertumbuhan khusus dengan berbagai pusat kegiatan. Berawal dengan pembangunan dan penataan pelabuhan Sanur, pembangunan pusat kesehatan berskala internasional, dan berbagai pusat kegiatan publik seperti pusat perbelanjaan/mal.

Ketika pelabuhan Sanur mulai ditata dan dibenahi menjadi lebih nyaman, maka tingkat pengguna/penumpang tentu semakin bertambah. Secara tidak langsung menimbulkan keruwetan lalu lintas publik di wilayah Sanur. Hal ini dipicu oleh peningkatan lalu lintas angkutan pribadi, karena kawasan Sanur belum didukung dengan transportasi publik yang memadai. Demikian juga saat sebuah mal sebagai pusat perbelanjaan mulai beroperasi, berbondong konsumen mendatanginya menggunakan kendaraan pribadi masing-masing. Akibatnya tentu sudah bisa diduga, timbul kemacetan parah akan lalulintas di kawasan tersebut. Sekali lagi kehadiran sarana transportasi publik yang nyaman menjadi sarana yang dibutuhkan.

Baca juga:  Pascadicabutnya Kebijakan PPKM

Amdal Lalu Lintas

Kehadiran pusat kegiatan publik yang baru pada suatu kawasan tentu akan menimbulkan dampak bagi kawasan tersebut. Bisa jadi kegiatan ekonomi masyarakat di sekitar pusat kegiatan tersebut akan ikut terdongkrak naik. Namun, di sisi lain juga akan memberikan dampak beban sosial bagi masyarakat sekitar, seperti halnya kemacetan lalu lintas. Sebuah pusat perbelanjaan modern/Mal yang hadir pada suatu kawasan, juga akan menumbuhkan kegiatan ekonomi kelas UMKM seperti halnya warung-warung makan dan kios sembako kecil. Warung-warung ini memfasilitasi kebutuhan para karyawan mal itu, karena mereka tidak mungkin rutin makan siang di restoran yang ada di dalam mal tersebut.

Munculnya warung-warung kecil di seputaran mal tentu juga memberi tambahan beban lalu lintas di kawasan tersebut. Apalagi jika mal tidak memberikan fasilitas parkir yang cukup bagi para pengunjung mal, maka dengan sendirinya terjadi limpahan aktivitas kendaraan yang akan menambah beban lalulintas di lingkungan mal. Situasi ini akan bertambah runyam jika di kawasan mal tersebut belum ada layanan transportasi massal publik yang aman dan nyaman. Kondisi ini jelas akan memicu semua pengunjung Mal menggunakan sarana transportasi pribadi yang dimilikinya. Lengkap sudah beban lalulintas pada lingkungan kawasan pusat perbelanjaan modern tersebut.

Baca juga:  Efek Biden untuk Pariwisata Indonesia

Pertanyaannya adalah, apakah sebuah pusat kegiatan publik maupun pusat perbelanjaan modern berskala besar yang hadir pada suatu kawasan tidak dilengkapi dengan amdal lalu lintas. Amdal lalu lintas berfungsi sebagai upaya mitigasi kemacetan lalu lintas yang bisa saja akan terjadi pada suatu wilayah akibat adanya pusat kegiatan publik yang baru dan berskala besar.

Selama ini wisatawan yang berkunjung ke Bali seringkali mengeluhkan tentang kemacetan lalu lintas yang menerpa daerah tujuan wisata di Bali. Sehingga layanan transportasi publik harus dibenahi secara bertahap, agar wisman dapat menuju objek wisata dengan nyaman, aman, dan murah.

Baca juga:  “Merta Matemahan Wisya”

Transportasi publik di Bali sebenarnya sudah secara tepat dimulai, ketika Bus Sarbagita yang dikelola Pemda Bali mulai beroperasi sejak 18 Agustus 2011. Berlanjut dengan Bus Trans Dewata yang beroperasi sejak 7 September 2020; sebagai sistem transportasi BRT (Bus Rapid Transit/Bus Raya Terpadu), dari Kemenhub RI dengan pola operasi Buy the Service. Menata transportasi publik memang harus dilakukan secara bertahap dengan konsisten dan konsekuen. Karena ada banyak pihak yang terlibat dalam proses pembenahannya. Utamanya memberi pemahaman kepada publik penggunanya agar mau beralih dari penggunaan moda transportasi pribadi ke penggunaan sarana transportasi publik.

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Uran Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *