Oleh Nyoman Sukamara
Sumber daya manusia (SDM) adalah modal terpenting kemajuan bangsa dan sudah dicontohkan oleh beberapa negara. Jepang dengan SDM yang berhasil dibangun, mampu bangkit menjadi negara industri menyaingi Amerika, negara yang mengalahkannya pada Perang Dunia II. Dengan modal SDM, Korea Selatan secara ekonomi dan teknologi berhasil menyaingi Jepang, negara yang pernah menjajahnya. Ke dua negara ini tidak kaya sumber daya alam. Kemajuan ekonomi Tiongkok walaupun sedikit berbeda tetap adalah buah daya saing SDMnya.
Ketertinggalan kualitas SDM Indonesia di tengah persaingan global di antaranya tergambar dari beberapa hal berikut. Presiden Joko Widodo, pada pertemuan di sebuah Forum Rektor di UNESA Surabaya mengungkapkan kekagetannya atas rendahnya rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 terhadap total populasi Indonesia, yang hanya sebesar 0,45 %. Kalah dari angka capaian Vietnam dan Malaysia (2,43 %), jauh tertinggal dari negara maju yang mencapai 9,8 %. World Talent Ranking yang dirilis Institute for Management Development (IMD), lembaga riset asal Swiss, memberikan skor 51,13 dari maksimal 100 poin daya saing SDM Indonesia (semakin besar skor semakin baik daya saing SDM).
Posisi ini ada di peringkat ke-47 dari 64 negara yang diriset pada tahun 2023 dan di bawah capaian Singapura (79,96), Malaysia (62,03), dan Thailand (54,31). IMD menilai daya saing SDM melalui tiga indikator, yaitu investasi dan pengembangan SDM dalam negeri, kemampuan negara menarik SDM terampil dari luar negeri, dan tingkat kesiapan SDM secara umum.
Sementara, RPJPN 2025-2045 mengungkapkan rata-rata produktivitas SDM yang tercermin dari Total Factor Productivity (TPF) Indonesia selama tahun 2005-2019 tumbuh negatif 0,66, tertinggal dari Korea Selatan yang mampu mencapai 1,61 ketika masih berada pada posisi menuju negara maju periode 1971-1955, dan juga Tiongkok sebesar 1,60 selama kurun waktu 2005-2019.
Dua faktor penting dalam membangun SDM adalah kesehatan dan pendidikan. UU nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional mengharuskan alokasi anggaran 20 % APBN dan APBD, di luar gaji tenaga pendidik dan di luar pendidikan kedinasan, untuk pendidikan dan mengelompokkan pendidikan ke dalam pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal. Permasalahannya adalah penjabaran UU ini ke dalam program pendidikan prioritas secara utuh, bertahap, berkelanjutan dan berjangka panjang di setiap level pemerintahan. Revolusi mental yang muncul dalam RPJMN 2015-2019 sebenarnya bisa jadi model pendidikan informal, sayang hilang dalam RPJMN 2020-2024, akhirnya tidak berdampak signifikan terhadap pengembangan kualitas SDM.
Secara politik, ketiadaan program pembangunan pendidikan berkelanjutan diakibatkan karakter pembangunan pendidikan yang hasilnya baru nampak dalam jangka panjang sehingga kurang seksi untuk dijadikan investasi jangka 5 (lima) tahunan dalam kontestasi meraih kekuasaan (pilkada). Kalah seksi dibandingkan program fisik berjangka pendek dan konkret, apalagi dibandingkan bansos. Secara sosial-budaya, ketiadaaan komitmen membangun jangka menengah dan panjang berkaitan dengan budaya Instan, satu karakter manusia Indonesia (yang disematkan oleh Mochtar Lubis), yaitu suatu budaya ingin cepat melihat hasil, yang berkembang menjadi budaya fokus berlebihan pada output dan tidak sabar pada proses. Dalam pemilihan umum/pilkada bansos dan amplop yang ditawarkan para kandidat menjadi jauh lebih menarik pemilih daripada program-program yang ditawarkan.
PJPN 2025-2045 menetapkan Visi Indonesia 2045 terciptanya Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Pencapaian ini dilakukan di antaranya melalui transformasi sosial, yang menitikberatkan pada penuntasan pemenuhan pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial, serta peningkatan kualitas SDM untuk membentuk manusia produktif (Manusia Indonesia Ungul). Belajar dari pengalaman, langkah awal mencapai visi tersebut, stakeholders terkait dan masyarakat harus dapat menjamin kepala daerah (termasuk melalui pemilihan kepala daerah) menjabarkan visi RPJPN ini terutama di bidang pendidikan ke dalam RPJPD, RPJMD dan program jangka menengah (5 tahunan).
Bonus demografi Indonesia yang diperkirakan memasuki periode puncaknya pada 2020-2035 adalah peluang untuk pembangunan ekonomi dan sosial, peluang untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Menyisakan waktu 10 tahun lagi. Diperlukan manusia Indonesia usia produktif dan unggul yang lebih merata antardaerah dan berdaya saing global untuk mampu mentransformasi bonus demografi menjadi bonus ekonomi. Bila gagal, Indonesia bisa terperangkap dalam negara berpenghasilan menengah, yang sudah berlangsung lebih dari 30 tahun.
Penulis, Widyaiswara BKPSDM Provindi Bali