Pentas ngelawang oleh Sanggar Giriya Mas Kawi, Banjar Dakdakan, Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Duta Kabupaten Tabanan mampu menghipnotis pengunjung PKB XLVI, Senin (24/6) sore. (BP/win)

DENPASAR, BALIPOST.com – Utsawa (Parade) Ngelawang yang berlangsung di areal Taman Budaya serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI menjadi perhatian pengunjung, Senin (24/6) sore. Pentas seni itu dimulai dari pintu depan sebelah utara Taman Budaya, kemudian berlanjut di depan Gedung Kriya. Di sana, sekaa Ngelawang menunjukan atraksi seni yang dibingkai dalam cerita rakyat.

Lantas sekaa yang didominasi anak-anak itu menuju areal depan panggung terbuka Ardha Candra. Para pengunjung pun mengikuti barisan iring-iringan hingga sampai di lokasi pentas. Selama perjalanan, kamera handphone para pengunjung tak henti-hentinya merekam momen seni itu.

Pentas ngelawang disajikan oleh Sanggar Giriya Mas Kawi, Banjar Dakdakan, Desa Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Duta Kabupaten Tabanan yang melibatkan sebanyak 50 peserta. Terdiri dari penari dan penabuh. Prosesi ngelawang ini, memang tidak sama dari kegiatan ngelawang pada Hari Raya Galungan dan Kuningan itu. Ngelawang dilengkapi dengan cerita, sehingga penampilannya seperti pertunjukan drama yang dilengkapi pembabakan.

Baca juga:  Gubernur Tutup PKB Ke-40

Pada kesempatan itu, Sanggar Giriya Mas Kawi mengangkat judul “Ahengkara” dengan durasi waktu sekitar 25 menit. Garapan ini, mengangkat kisah kebiasaan manusia dengan zona nyamannya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki derajat paling tinggi. Hal yang paling penting dalam membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal, pikiran, dan perasaan yang dimiliki manusia.

Namun, dalam perkembangan zaman semua hal itu mulai bergeser. Manusia hanya ingin mempraktiskan dan menghalalkan segala cara untuk urusan hidupnya. Manusia dengan zona nyamannya itu, hanya menginginkan hasil yang banyak tanpa mau berbuat yang lebih. Kebiasaan ini timbul karena godaan-godaan nafsu jahat yang mengganggu akal, pikiran, perasaan, dan keyakinan manusia itu sendiri.

Baca juga:  Besok, Drama Keraton ‘’Jayaprana’’ Tayang Perdana di Bali TV

Dalam garapan tersebut, menampilkan 2 barong, yaitu barong bangkung (berwujud babi besar) dan barong macan (berwujud harimau). Selain itu, ada pula barong singa kecil yang ditarikan oleh anak-anak, serta pemain anak-anak yang menarikan monyet. Sedangkan, penari wanita menarikan berbagai pohon di tengah hutan. Manusia yang tak mau menjaga alam lingkungannya, membuat Barong Singa yang berperan sebagai raja hutan marah dan mengamuk. Hutan rusak, hingga kehidupan manusia terganggu.

Tari yang digarap oleh I Made Rai Widana dan Ni Luh Putu Lastiani, serta Ida Bagus Agung Widnyana sebagai penata iringan itu memang tak ingin mengangkat kisah yang berat. Hal ini, sebagai bentuk edukasi kepada anak-anak, selain sebagai sajian seni juga untuk menghibur. “Kami menggarap dengan konsep hutan. Kami ingin mengajak semua untuk menjaga hutan sebagai sumber kehidupan,” ucap Rai Widana.

Baca juga:  Pembangunan PKB, Ikon Kebangkitan Seni dan Budaya Bali

Tradisi ngelawang barong tumbuh dan berkembang dalam komunitas masyarakat Hindu Bali hingga saat ini. Prosesi nglawang secara kasat mata tervisualisasikan ke dalam bentuk iringan-iringan berjalan, berputar dan melingkar serta terus bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Selama perjalanan itu, terjadi jalinan harmonisasi gerak yang sangat kompleks, dan menarik. (Ketut Winata/balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *