Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh  I Gusti Ketut Widana

Hakikat beragama adalah menjalankan perintah kebaikan berdasarkan kebenaran ajaran-Nya. Melalui sradha (keimanan) setiap umat beragama (Hindu) wajib hukumnya merealisasikan keyakinannya melalui berbagai wujud bhakti, baik dalam bentuk persembahan (yadnya), persembahyangan (puja, mantra/doa) maupun perbuatan (karma).

Jika persembahan yadnya lebih berorientasi vertikal (niskala), acara persembahyangan yang senantiasa disertai puja lewat doa-mantra, selain tertuju ke atas (pada-Nya), secara horizontal (sakala) juga teruntuk sarwa prani – segenap makhluk – terutama manusia, agar selalu dalam kondisi baik, tak kurang suatu apapun. Contohnya, salam panganjali umat Hindu  “Om Swastyastu”, merupakan lafalan doa yang diucapkan saat memulai kegiatan atau bertemu muka dengan seseorang, dengan harapan agar semuanya dalam keadaan sehat, sejahtera dan bahagia atas anugerah Hyang Widhi.

Begitu pun saat mengakhiri suatu acara atau pertemuan dimaksud, disertai doa penutup “Om Santih, Santih, Santih, Om” yang artinya semoga semuanya dalam keadaan damai, di hati, di dunia dan selamanya atas lindungan Tuhan. Bukankah doa/salam keagamaan ini merupakan suatu amalan kebaikan, yang juga dimiliki semua agama?

Baca juga:  Ekonomi dan Budaya dalam Pariwisata Bali

Memang, salam agama itu bagian spesifik dari keyakinan dan bersumber pada teks (ayat/sloka) kitab suci  serta bersifat internal serta sakral. Tetapi ketika diucapkan untuk kebaikan berdasarkan kebenaran, di situlah sejatinya nilai universal dari setiap salam/doa keagamaan itu.

Hal ini  sejalan dengan makna kehadiran agama yang selalu membawa berkah (rahmat) bagi dunia —  mewujudkan kedamaian serta kasih sayang bagi manusia dan alam. Jadi, tatkala salam/doa agama itu diucapkan tidak saja untuk lingkup intern umat, tetapi secara eksternal, juga tertuju kepada segenap isi dunia – sarwa sukhinah bhawantu.

Jika kemudian ada lembaga keagamaan lain menilai bahwa pengucapan salam non-agama (lintas agama) sebagai sesuatu yang tidak boleh (haram), dan dianggap bukan bentuk toleransi yang benar, itu pasti bagian dari  keyakinannya (akidah). Meski pihak Kementerian Agama sendiri sebagai institusi negara yang berposisi sebagai pengayom dan pembina semua lembaga/organisasi keagamaan, melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kamaruddin Amin, dengan jelas mengatakan salam lintas agama bukan untuk merusak akidah antarumat. Bahwa “Salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat.

Baca juga:  Prajaniti Gelar Kegiatan Internasional di IKN

Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing, dan secara secara sosiologis, salam lintas agama perkuat kerukunan dan toleransi. Salam lintas agama sebagai sarana menebar damai yang juga merupakan ajaran setiap agama. Hal itu sekaligus menjadi wahana bertegur sapa dan mmenjalin keakraban” (cnn.id/1104370).

Bagi agama Hindu, mengucapkan salam lintas agama yang hakikatnya adalah doa untuk kebaikan bersama justru dipandang sebagai kewajiban tertinggi (paramo dharmah) dengan amanat mensejahtera-bahagiakan semua orang meski berbeda keyakinan — gumaweaken sukanikanang won len. Selain itu, mengucapkan salam/doa keagamaan itu tergolong perbuatan mudah, murah dan penuh berkah/anugerah bagi kedua belah pihak —  pendoa dan yang didoakan.

Lalu, dimana letak masalahnya? Lagi pula, jika misalnya seseorang tidak mampu memberi suatu apapun terutama secara material, dengan turut mendoakan saja sama dengan membantu tercapainya apa yang menjadi harapan orang lain. Bukankah itu perbuatan mulia, sebagai realisasi bhakti untuk  kebaikan bersama berdasarkan  kebenaran ajaran semua agama?

Baca juga:  "Manastapah" Bukan Ungkapan Sakit Jiwa

Satu hal lagi, bagi umat beragama, jika memang keimanan terhadap agamanya sudah kuat/kokoh, mengucapkan salam lintas agama yang hanya sebatas melafalkan atau melantunkan doa kebaikan, tidak akan serta merta memengaruhi, merusak apalagi berpindah keyakinannya. Tetapi itulah hak fundamental dari setiap institusi keagamaan untuk menyatakan sekaligus menegaskan prinsip dasar ajaran (hukum) agamanya.

Kendati pun tidak semua organisasi keumatan sepakat dengan pernyataan itu. Jalan tengahnya, penting sekali terus menggelorakan spirit moderasi beragama, agar berbagai pihak dapat saling menerima, menghargai dan menghormati keyakinan masing-masing dengan tetap menunjukkan sikap  toleransi dalam kesetaraan sehingga dapat bekerja sama guna mewujudkan kehidupan yang rukun dan damai. Om ano bhadrah kratawo yantu wiswatah, semoga segenap pikiran yang baik datang dari segala penjuru.

Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *