Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Alam bahasa komedi, profesi di dunia itu hanya dua, yakni Pegawasi Negeri Sipil (PNS) dan profesi lainnya. Zaman dulu PNS kini populer dengan sebutan Aparatur Sipil Negara (ASN) dijauhi bahkan diledek, karena gajinya pas-pasan atau terlampau kecil bagi ukuran tertentu.

Seiring bergulirnya waktu, PNS sekarang selalu
menjadi perburuan masyarakat, entah tamatan SD hingga perguruan tinggi. Kita bisa cek, kala Kementerian/Lembaga pemerintah ataupun Pemda membuka rekruitmen CPNS, maka kemudian deretan pengantri, meskipun yang dicari/dibutuhkan hanya satu kursi, tetapi pemandangan seolah sepanjang jalan Daendels.

Di tengah profesi PNS, masih saja terbit kebanggaan profesi dan profesionalisme ketika status PNS tersematkan pada baju seragamnya. Meskipun pakaian seragamnya sama, tentu punya kenangan yang berbeda. Artinya, bisa saja kursi atau profesi PNS ini tetap menarik dan terawat hingga pensiun, atau bisa juga sebaliknya.

Barangkali sebagian PNS sudah tidak lagi berjuang di kursinya, sehigga sebagian PNS ini lebih melirik profesi atau dunia lain. Misalnya, tertambat pada jalur politik, yang mungkin saja terlampau memukau di kedua bola mata para PNS.

Baca juga:  Meretas Visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Mungkinkah Tinggal Sebuah Kenangan?

Ketika hanya menjalani sebagai PNS memang tidak sepopular menjadi anggota dewan/DPR, baik pada level Kabupaten/Kota hingga DPR RI di Jakarta. Saat menjadi PNS pun tak pernah dicari-cari kala menjelang pesta demokrasi digelar, akan berlainan dengan para wakil rakyat yang sering dicari menjelang pemilu.

Mereka acap menemui yang mulia anggota dewan ini
minta dibantu perbaikan jalan yang rusak, minta bantuan buat gedung sekolah, minta bantuan buku untuk mengisi perpustakaan di desanya atau minta kehadirannya untuk memberi sambutan dan membuka acara gelaran merti desa, misalnya, dan kegiatan lainnya.

Maka kemudian, manakala PNS berebut maju menjadi caleg, hal itu diatur dalam Pasal 182 huruf k dan Pasal 240 Ayat (1) huruf k Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain kepala dan wakil kepala daerah, mereka yang wajib mengundurkan diri ketika
maju caleg, yaitu aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil (PNS).

Kemudian, anggota Polri dan TNI juga mesti mundur dan menanggalkan baju dinasnya jika ingin menjadi caleg. Deretan para PNS yang mundur dari kedinasan berganti haluan menapaki jalan politik.

Baca juga:  Bupati Gede Dana Lantik dan Serahkan SK 1.080 ASN

Sejumlah PNS, Sekda Sekda Cimahi Dikdik Suratno sudah didorong untuk maju Pilkada Kota Cimahi 2024
mendatang. Kemudian Sekda Kota Semarang, Iswar Aminuddin ikut mendaftar sebagai Bakal Calon Wali
Kota Semarang lewat PDIP.

Hal itu terungkap dalam upaya Iswar mengambil formulir di maju Wali Kota lewat DPC PDIP Kota Semarang. Selain itu, ada juga Sekda Kota Majalengka,
Eman Suherman, yang mendapat dukungan dari sejumlah partai untuk maju Pilbup Majalengka.

Eman pun sudah ikut proses penjaringan, bahkan mendaftar ke PPP. Kemudian, Supian Suri Mantap Maju Pilkada Depok 2024, Serahkan Formulir Bacawalkot ke PAN. Merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN yang mengatur terkait ketentuan ASN yang maju ke Pilkada, di mana disebutkan dalam Pasal 56 dan 59 ayat 3 bahwa Pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil
gubernur, bupati/walikota, dan wakil bupati/wakil wali kota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari PNS sejak ditetapkan sebagai calon, kecuali bupati yang ingin ikut pilkada diwajibkan cuti saja.

Baca juga:  ASN Tak Boleh Cuti Berdekatan dengan Hari Libur

Kepada para ASN yang ingin ikut pilkada 2024 ini agar memahami regulasi dan aturan yang sudah di tetapkan UU Nomor 20 Tahun 2023. Kita akui atau tidak kita akui, keputusan para PNS yang terjun ke politik merupakan
keputusan yang berani dan penuh challenge.

Garansi nasib dan masa depan dirinya ada di pundak mereka sendiri. Artinya kala kemenangan bersanding tidak masalah, tapi sebaliknya hasil terburuk berupa kekalahan dalam pemilu harus disokong dengan sikap legowo, kehilangan kursi PNS, dan seterusnya.

Dalam sebuah laga, kompetisi hanya ada dua katup kemungkinan: menang atau kalah : unggul atau tersungkur. Karena dalam kehidupan juga selalu ada ujung dan ada akhir.

Kita pun masih menggenggam nilai nandur becik olehe apik (menaman kebaikan hasilnya juga akan baik). Beberapa mengaku, keluar dari zona PNS beralih ke jalur politik, merupakan bagian dari nasionalisme. Karena dimanapun, profesi apapun bisa mendarmabaktikan dirinya bagi pembangunan di negeri ini sesuai bidang masin-masing. Tekun di jalan PNS bersetia di jalur politik hanya soal pilihan.

Penulis, Pendamping desa Miskin Indonesia Angkatan I

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *