John de Santo. (BP/Istimewa)

Oleh John de Santo

Miris membaca laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, mengenainya tingginya tingkat pengangguran di kalangan Gen. Z. Artinya kelompok kaum muda ini tidak sedang bekerja atau pun bersekolah. Usia mereka rata-rata antara 12-27 tahun dan kebanyakan adalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu sekolah yang secara khusus didirikan untuk memuluskan transisi lulusannya dari sekolah menuju dunia kerja. Lantas, mengapa masih tinggi angka pengangguran dari para lulusan SMK itu?

Sinetron “Si Doel Anak Sekolahan” yang ditulis oleh Rano Karno dan yang sekaligus menjadi pemeran utamanya, mengangkat topik pengangguran intelektual. Setelah lulus sebagai sarjana teknik mesin dan mendapat julukan sebagai “Tukang Insinyur” oleh ayahnya yang diperankan Benyamin Sueb , si Doel/Kasdullah, justru malang-melintang, keluar masuk kantor sambil menenteng map yang berisi ijasahnya untuk melamar pekerjaan.

Pemuda Betawi itu akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai supir di sebuah kantor. Pekerjaan yang jauh dari ekspektasi sang ayah. “Kalau hanya untuk menjadi sopir mengapa harus kuliah berlama-lama dan membuatku menghabiskan tanah berhektar-hektar untuk membayar uang kuliah?” protes sang ayah. Ketika si Doel berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai bidangnya namun ditempatkan di kepulauan Natuna, sang ayah malah keberatan, “Mengapa harus jauh-jauh di sana, sementara setiap tahun ribuan orang membanjiri ibu kota Jakarta untuk mencari pekerjaan dan berhasil di di sini.”

Baca juga:  Pariwisata Era Next Normal 2022

Pesan sinetron Si Doel Anak Sekolahan itu, kiranya relevan dengan situasi saat ini. Tidak semua lulusan sekolah, termasuk lulusan sarjana mendapatkan pekerjaan sesuai bidangnya atau sesuai keinginannya. Maka, benar apa yang dikatakan seorang sahabat “Pendidikan formal hanya menyiapkan 20 persen dari pengetahuan dan keterampilan yang kita butuhkan untuk bekerja, 80 persen selebihnya harus kita upayakan sendiri”.

Hemat penulis, bagi Gen Z, 80 persen pengetahuan dan keterampilan itu, relatif mudah mereka peroleh. Mereka lahir sebagai native digital, ketika internet, smarphone sudah menyediakan akses untuk ilmu dan keterampilan yang mereka perlukan untuk memasuki dunia kerja. Semua informasi, mulai dari tips membuat pizza rumahan, hingga cara merakit helikopter dengan berbagai peralatan bekas, tersedia di internet.

Jadi, lucu dan ironis membaca berita bahwa, angkatan muda pekerja terpaksa menganggur karena tidak ada pekerjaan formal yang tersedia bagi mereka. Bukankah bekerja itu tidak sekedar untuk mencari nafkah, tetapi juga berkaitan dengan harkat dan martabat seseorang? Bekerja menjadi penting bagi martabat manusia karena ia memberikan tujuan, pengaturan, hubungan dan pertanggungjawaban. Dengan bekerja, orang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar sekaligus merasa bangga, terlepas dari sifat dari pekerjaan itu.

Baca juga:  Mata Minus Banyak Diderita Gen Z, Simak Penyebab dan Cara Mencegahnya

Martabat yang diperoleh dari pekerjaan melampaui manfaat ekonomi. Ia mencakup aspek martabat manusia, yaitu aktualisasi potensi dan harga diri. Kemampuan untuk bekerja tidak hanya memungkinkan orang untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, tetapi juga memungkinkan dia mengekspresikan kreativitasnya dan berkontribusi terhadap  masyarakatnya.

Dengan perkataan lain, hubungan antara pekerjaan dan martabat manusia tertanam dalam nilai-nilai progresif, yang menekankan pentingnya menghormati nilai individu melalui peluang ekonomi yang mendorong pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan pribadi, orang-orang terdekatnya, dan tidak menjadi beban masyarakat.

Jadi, pekerjaan  itu lebih dari sekadar sarana mencari nafkah karena ia merupakan komponen mendasar dari identitas manusia dan perwujudan diri. Pekerjaan memungkinkan orang untuk terlibat dalam kegiatan yang bermakna dan yang berkontribusi terhadap pengembangan dan kesejahteraan pribadi dan masyarakatnya. Entah dibayar atau tidak dibayar, pekerjaan tetap berperan penting dalam membentuk rasa memiliki tujuan (sense of purpose), nilai, dan martabat manusia. Hubungan antara pekerjaan dan martabat manusia menggarisbawahi pentingnya menciptakan sistem ekonomi yang mendukung individu untuk  mewujudkan potensi dirinya melalui keterlibatan produktif.

Baca juga:  Membangun Pola Pikir Gen Z

Tantangan Masyarakat Modern

Dalam landskap dunia kerja masyarakat kontemporer saat ini, tantangan seperti ketidakamanan kerja, setengah pengangguran, stagnasi upah, dan kesenjangan ekonomi, menimbulkan ancaman signifikan terhadap martabat manusia. Banyak orang menghadapi ketakutan kehilangan pekerjaan atau berjuang melakukan beberapa pekerjaan bergaji rendah sekaligus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini mengarah pada perasaan tidak berdaya dan keputusasaan.

Kebijakan ekonomi yang mengutamakan kepetingan perusahaan di atas kesejahteraan karyawan, menurut sejumlah kajian, justru berkontribusi pada penurunan kualitas pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Dalam rangka mengatasi tantangan ini, diperlukan evaluasi terhadap sruktur ekonomi yang ada, untuk memastikan bahwa pekerjaan tetap menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan martabat bagi seluruh warga negara.

Dengan mengakui nilai intrinsik dari pekerjaan untuk meningkatkan kehidupan dan martabat individu, masyarakat dapat menciptakan peluang untuk pekerjaan yang memberdayakan orang untuk berkembang secara pribadi dan profesional. Para pemilik usaha diharapan dapat mendorong keunggulan individu dalam segala bentuk pekerjaan, berempati dan membesarkan hati mereka yang menghadapi hambatan dalam pekerjaan, sekaligus mengadvokasi kebijakan yang memprioritaskan martabat manusia. Ini merupakan langkah penting untuk membangun tenaga kerja yang lebih inklusif dan bermartabat.

Penulis, Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *