A.A Ketut Jelantik, M.Pd. (BP/Istimewa)

Oleh  A.A. Ketut Jelantik, M.Pd.

Sekelompok remaja melakukan penyerangan secara membabi buta di sebuah mini market di Kota Denpasar. Mereka tidak saja melakukan perusakan terhadap benda di sekitarnya, namun tanpa segan mereka juga melakukan kekerasan terhadap warga yang berada di lokasi.

Kasus ini pun menjadi viral di berbagai platform media sosial. Berbekal video serta keterangan para saksi, polisi tidak membutuhkan waktu lama untuk menciduk para pelaku. Miris ternyata sebagian pelaku masih berstatus pelajar. Lagi-lagi masyarakat disuguhkan dengan perilaku deviant oknum pelajar.

Kasus kriminal yang melibatkan pelajar di Bali bukan kali pertama terjadi. Namun sebaliknya sudah sering kali menghiasi halaman koran. Berita tentang pencurian, perundungan, perkelahian, pelecehan seksual atau perilaku deviant lainnya yang melibatkan pelajar terlalu sering berseliweran di beranda akun medsos kita. Dan seperti biasa, viralnya kasus ini memantik tanggapan pro dan kontra. Kita tentu prihatin dengan fenomena ini. Tulisan ini mencoba untuk menelisik sejumlah kemungkinan pemicu munculnya perilaku deviant siswa atau remaja serta upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk mencegahnya.

Dalam sejumlah riset para ahli menyebutkan, ada tiga penyebab remaja terlibat dalam tindak kriminal. Ketiga faktor tersebut yakni kondisi psikologis, keluarga, serta lingkungan. Tentu masih ada faktor-faktor lain yang juga berkontribusi terhadap keterlibatan siswa dalam kasus criminal sebagaimana yang diungkapkan Mararios et all (2017) yang menyebutkan remaja dengan perkembangan sosial yang buruk akan cenderung berperilaku mengarah kriminalitas serta antisosial.

Baca juga:  Era Baru Pengembangan Profesi Guru

Secara psikologis remaja yang terjerumus dalam perilaku kriminal besar kemungkinan dipicu oleh adanya gangguan mental yang tidak terdiagnosis, depresi, termasuk pengalaman traumatis seperti kekerasan fisik, seksual atau sejenisnya. Selanjutnya, disfungsi keluarga juga berpengaruh besar terhadap kecenderungan munculnya perilaku deviant remaja.

Pertengkaran kedua orang tua yang yang tiada henti apalagi dibarengi dengan kekerasan fisik maupun verbal tentu akan memberikan dampak negatif terhadap aspek kejiwaan anak. Guncangan dan luka jiwa anak akan makin menganga ketika pertengkaran tersebut berakhir dengan perceraian. Lalu bagaimana dengan lingkungan.

Ya, tidak bisa dipungkiri lingkungan juga berkontribusi besar terhadap tumbuh kembangnya remaja. Remaja cenderung mengikuti kelompoknya. Karenanya mereka akan melakukan berbagai upaya penerimaan sosial dalam kelompok.

Jika mereka tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, maka mereka cenderung berkembang kearah positif. Begitu juga sebaliknya. Sebagai ilustrasi, jika remaja bergabung dalam kelompok geng motor yang terbiasa dengan perilaku deviant misalnya, maka yang bersangkutan ada kecenderungan melakukan tindakan menyimpang.

Baca juga:  Vaksinasi JE di Denpasar Jangkau 132.893 Orang

Dibutuhkan sinergi semua pihak untuk menanggulangi perilaku deviant  siswa atau remaja. Dalam kontek perilaku deviant siswa maka yang dibutuhkan adalah adanya sinergi antarekosistem Pendidikan. Kepala sekolah, guru serta orang tua siswa haruslah memiliki kesamaan persepsi, langkah serta tujuan.

Persamaan tersebut bukan saja akan menambah kohesivitas upaya memotong perilaku deviant siswa, namun juga sebagai wujud partisipasi dan kolaborasi. Hal yang juga tak kalah penting yang harus diperhatikan adalah ketersediaan law informcement atau ketentuan hukum yang memadai yang bisa dijadikan payung untuk memberikan sanksi bagi mereka yang melakukan pelanggaran.

Pekerjaan seorang guru lebih bersifat psikologis, ketimbang pragmatis. Jadi tidak sama dengan seorang dokter, insinyur, pengacara atau pekerjaan lain yang mengutamakan aspek pragmatis. Pekerjaan guru tidak bisa disamakan dengan kegiatan menuangkan air ke dalam botol kosong. Kompleksitas pekerjaan guru terletak pada bagaimana dia memahami bahwa apa yang dilakukan berkaitan dengan memanusiakan manusia.

Dewasa ini siswa atau remaja lebih banyak “bergaul” dengan dunia digital. Hal ini memberikan implikasi kuat terhadap makin suburnya sikap apatis sosial siswa. Apatis sosial sering ditunjukan dengan perilaku antipati, suka memberontak nasehat orang yang lebih tua termasuk guru.

Baca juga:  Rekonstruksi Entitas LPD

Oleh sebab itu guru harus memahami fenomena ini secara seksama. Dalam membangun karakter baik, guru seharusnya lebih banyak menjadi contoh bagaimana berperilaku baik di mata siswa. Bagi siswa melihat contoh nyata jauh lebih bermakna ketimbang menerima cerita baik tentang kebaikan dan keburukan.

Jika di guru adalah referensi hidup bagi siswa, maka peran ini akan digantikan oleh orang tua termasuk anggota keluarga lainnya ketika siswa berada di rumah. Maka orang tua harus mampu memerankan itu dengan baik. Mendampingi anak-anaknya belajar, bertanya tentang suasana belajar di sekolah, tentang teman-teman, tentang tugas sekolah akan membuat orang tua dekat dan akrab dengan anak-anaknya.

Permasalahannya, banyak orang tua abai dengan tugas ini. Waktu berharga “Quality times” yang seharusnya menjadi hak prerogatif anak tergantikan dengan pemberian segepok uang, atau fasilitas memanjakan lainnya dengan alasan kesibukan orang dalam karir atau bisnis. Fenomena ini lazim terjadi di tengah perilaku hedonis sebagian masyarakat kita. Alih-alih melatih remaja menjadi mandiri dan resilien, justru sebaliknya remaja merasa sepi dalam keramaian dan ujung-ujungnya mereka akan melampiaskan dalam bentuk perilaku deviant.

Penulis, Pengawas Sekolah Dikpora Bangli juga Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbudristek A3

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *