Oleh John de Santo
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari akhirnya diberhentikan secara tetap setelah dinyatakan bersalah melanggar kode etik KPU oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). “Memutuskan, mengabulkan pengaduan pengadu untuk seluruhnya. Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy’ari selaku Ketua merangkap anggota KPU terhitung sejak putusan dibacakan,” pungkas Ketua Majelis Sidang, Heddy Lugito saat membacakan putusan di Ruang Sidang DKPP, Jakarta Pusat sebagaimana dikutip Suara.com, pada Rabu (3/7). Pelajaran apa, yang bisa kita petik dari kejadian ini?
Lord Acton (1834-1902) terkenal dengan kutipannya, “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Kutipan ini memeperingatkan bahwa siapa pun yang dalam posisi kekuasaan rentan terhadap korupsi moral. Artinya, ketika seseorang mendapatkan lebih banyak kekuasaan, terdapat kecenderungan alamiah untuk menyalahgunakannya demi keuntungan diri sendiri, sehingga mengarah kepada perilaku dan tindakan non-etis. Maka, perspektif Lord Acton menandaskan perlunya standar moral yang konsisten untuk diterapkan pada semua individu yang sedang berkuasa.
Tidak mudah mencapai jabatan ketua KPU RI. Ada tututan, kompetisi dan jalan berliku yang harus ditempuh seseorang untuk meraih jabatan itu. Sudah tentu, posisi ini mensyaratkan orang yang berintegritas tinggi. Tak mengherankan ketika sang ketua KPU didaulat menjadi kothib dalam perayaan Idul Adha di depan presiden RI. Tetapi orang sehebat dan seterhormat itu jatuh karena kejahatan asusila dan dipecat. Ia terbukti secara sah dan menyakinkan membujuk untuk melakukan hubungan badan dengan seorang perempuan di luar kesepakatan, sehingga ditengarai ia menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dipercayakan kepadanya.
Jangan Remehkan Wanita
Naomi Alderman dalam novelnya yang berjudul “The Power” (2016) mengemukakan bahwa wanita tak hanya dominan dalam landskap emosional, karena ia juga bisa menguasai pria secara fisik. Mengapa? Karena wanita memiliki kemampuan mengirimkan sentakan listrik melalui kecantikan fisik dan seluruh performanya sebagai wanita. Kenyataan ini menantang gagasan tradisional tentang superioritas fisik pria.
Pembalikan peran dalam novel tersebut juga menyoroti potensi perempuan untuk memiliki jenis kekuatan (different power) yang berbeda yang tidak didasarkan pada kekuatan fisik saja. Narasi ini mengeksplorasi kemampuan wanita yang mungkin baru disadari itu, justru mengubah struktur sosial dan interaksi antargender.
Dalam kehidupan nyata, penting kiranya untuk mengakui bahwa kekuatan fisik bukan satu-satunya bentuk kekuatan atau kemampuan yang menjadi wilayah hegemoni kaum pria. Karena sebagai makhluk yang utuh ia juga memiliki kekuatan dalam kecerdasan emosional, kapasitas intelektual, dan ketahanan yang menjadikannya sebagai partner kaum pria yang tidak boleh disepelekan dan tak sekedar menjadi objek pemuas nafsu. Dengan demikian, narasi pemberdayaan perempuan itu selalu mencakup spektrum kemampuan dan kualitas yang lebih luas dari pada sekedar dominasi fisik yang macho.
Paling tidak dalam kasus asusila ketua KPU ini, kita menyaksikan bagaimana kekuatan seorang wanita menumbangkan menumbangkan kekuasaaan pria dalam masyarakat yang didominasi kaum pria (male dominated society). Wanita tak lagi menjadi korban tindak asusila, tetapi juga sebagai penegak keadilan dan kebenaran, tidak hanya bagi kaumnya, tetapi juga untuk semua orang yang sedang mencarinya.
Psikologi Sosial
Mengapa kekuasaan bisa menurunkan standar moral dan perilaku etis pengembannya? Banyak teori kepemimpinan, mengaitkan fenomena ini dengan berbagai faktor psikologis dan sosial yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, efek psikologis kekuasaan. Ketika individu memperoleh kekuasaan, terutama kekuasaan absolut di mana tidak ada checks and balances, ia mungkin merasa diri tak tersaingi, dan berhak melakukan tindakan yang menurutnya baik.
Kedua, kurangnya akuntabilitas. Kekuasaan biasanya beriringan dengan wewenang dan kendali atas sumber daya, keputusan, dan orang-orang. Ketiga, pengaruh sosial. Lingkungan sosial di sekitar individu yang kuat juga dapat berkontribusi terhadap korupsi, dan penyalahgunaan wewenang.
Keempat, kehilangan Empati. Ketika individu berada di puncak kekuasaan ia mungkin terputus dari perjuangan sehari-hari dan kekhawatiran orang-orang yang mereka pimpin atau pimpin. Kelima, persepsi imunitas. Individu yang sedang berkuasa, juga mungkin percaya bahwa status mereka melindungi mereka dari konsekuensi tindakan, sehingga mereka bisa melakukan tindakan yang tidak dapat diterima sebelum mereka mencapai kekuasaan itu.
Keenam, Disonansi Kognitif. Artinya dihadapkan dengan keyakinan atau tindakan yang saling bertentangan, penguasa dapat merasionalisasi perilaku tidak etisnya untuk mempertahankan citra diri yang positif. Ketujuh, normalisasi pelanggaran. Dalam lingkungan di mana korupsi atau tindakan asusila diterima sebagai sesuatu yang biasa, maka akan terjadi normalisasi praktik tidak etis memandangnya dapat diterima di dalam lingkaran mereka.
Penulis adalah Pendidik dan Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka