Oleh A.A. Ketut Jelantik, M.Pd.
Perkembangan sains dan teknologi bidang Pendidikan berkembang dengan sangat pesat. Pengusangan pun berjalan dengan sangat cepat. Temuan baru bidang pendidikan dengan sangat cepat digantikan oleh temuan yang lebih baru lagi.
Kondisi ini mewajibkan kita untuk terus adaftif dengan perkembangan. Dengan demikian, tidak tertinggal dengan isu-isu baru. Fenomena ini juga melanda guru dan tenaga kependidikan di Indonesia. Dibutuhkan upaya dan strategi jitu agar guru mampu mengimbangi perkembangan tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kemendikbudristek adalah melalui program Komunitas Belajar (Kombel) di setiap satuan Pendidikan.
Komunitas belajar merupakan sekelompok Pendidik atau Tenaga Kependidikan yang belajar bersama dengan pola kolaborasi dan dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Komunitas belajar fokus pada tiga hal yakni proses pembelajaran, kolaborasi serta peningkatan hasil belajar siswa. Melalui komunitas belajar guru diharapkan tidak saja akan menjadi pembelajar sepanjang hayat, namun juga selalu “mengupdate” diri sehingga mampu menjadi katalis transformasi pendidikan di sekolah.
Eksistensi komunitas belajar mengacu pada teori PLCs (Professional Learning Communities) yang dikembangkan Richard Dufour. Dalam bukunya yang berjudul The School Leader’s Guide to Professional Learning Communities at Work, Richard Dufour menyebutkan ada empat pertanyaan reflektif sebagai fondasi dalam pengembangan komunitas belajar di sekolah. siswa belajar tentang apa? bagaimana mengetahui jika siswa telah belajar?
Bagaimana siswa jika tidak mau belajar? serta bagaimana respons siswa jika mereka sudah menguasai atau mahir terhadap apa yang dipelajari? Jika dirunut maka empat pertanyaan tersebut memiliki ruh yang sama yakni aktivitas yang berlangsung di komunitas belajar bertujuan untuk membantu guru agar mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi siswa selama proses pembelajaran di kelas. Komunitas belajar menjadi salah satu kanal guru untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi siswa.
Jika aktivitas komunitas belajar difokuskan pada upaya untuk mengatasi permasalahan dalam proses pembelajaran, maka diskursus yang dibangun mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi. Disadari atau tidak, selama ini kemampuan guru dalam merancang proses pembelajaran yang berpusat pada kebutuhan peserta didik masih rendah. Masih banyak ditemukan dokumen rencana pembelajaran/ modul ajar yang digunakan guru hasil copy paste, atau duplikasi dari guru sejenis di sekolah lain.
Perencanaan pembelajaran atau modul ajar yang seperti itu tentunya tidak sesuai dengan karateristik siswa dan sekolah setempat. Apa yang bisa diharapkan dari perencanaan pembelajaran yang tidak sesuai kebutuhan siswa?
Dapat dipastikan, cara seperti ini siswa tidak akan memperoleh pengalaman apapun. Proses pembelajaran hanya rutinitas semu, tanpa makna, tanpa pengalaman kongkrit. Siswa merasa dipaksa belajar sesuai dengan hasrat guru, atau dipaksa menggunakan cara orang lain untuk memahami sesuatu. Komunitas belajar diharapkan akan mampu mengamputasi kebiasaan-kebiasan buruk ini dan pada gilirannya guru akan terbiasa menyusun, melaksanakan dan melakukan penilaian pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa.
Komunitas belajar yang efektif dan berdampak terlihat dari pemilihan topik yang dilakukan secara kolaboratif melalui mekanisme refleksi serta mengutamakan kesetaraan antarguru. Anggota komunitas belajar terbebas dari perundungan akademik. Hanya topik yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dan berdampak terhadap siswa yang menjadi prioritas.
Topik lain yang kecenderungannya hanya untuk kepentingan personal guru diabaikan. Semua guru yang bergabung dalam kimunitas belajar memiliki hak dan kesempatan yang sama. Tidak lagi ada hegemoni guru senior atau guru junior. Pendek kata, kesetaraan dalam komunitas belajar dimaksudkan untuk menghilangkan sekat antar guru di sekolah baik karena latar belakang pengalaman, umur maupun kompetensi.
Sebagai wahana untuk membangun budaya pembelajar sepanjang hayat dan sekaligus katalis transformasi Pendidikan, maka komunitas belajar di sekolah harus dikemas sedemikian rupa sehingga bukan saja menarik namun hendaknya juga menjadi herbarium atau ladang persemaian bagi tumbuhnya budaya kritis dan inovatif guru maupun tenaga kependidikan lainnya.
Tata kelola komunitas belajar di sekolah harus dimulai dari proses refleksi untuk mengindentifikasi permasalahan belajar yang dialami siswa. Hasil identifikasi tersebut selanjutnya secara kolaboratif oleh guru diolah dan dikemas menjadi rencana program yang akan dibahas dalam kegiatan di komunitas belajar. Langkah berikutnya dari kegiatan pada komunitas belajar adalah melakukan evaluasi.
Evaluasi menjadi hal krusial yang akan membawa anggota konunitas belajar pada kesimpulan apakah kegiatan yang dilakukan memberikan manfaat bagi peingkatan hasil belajara siswa atau tidak. Mekanisme seperti ini akan terus berulang menjadi sebuah siklus. Nah, siklus inilah yang nantinya diharapkan menjadi herbarium pengembangan inovasi dan kreasi guru secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Semoga.
Penulis, pengawas Sekolah Dikpora Bangli, juga Fasilitator Program Sekolah Penggerak A3 Kemendikbusristek