Marjono. (BP/Istimewa)

Oleh Marjono

Founding Father dan pejuang lainnya telah merumuskan Pancasila sebagai kata kunci membangun bangsa yang menghargai keragaman dalam membentuk mosaik satu Indonesia. Negeri besar di bawah naungan Pancasila yang bernama Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk yang besar, jumlah pulau yang besar, jumlah suku bangsa yang besar, tetapi ia juga besar dalam jumlah permasalahan mendasar yang harus dihadapi setiap saat.

Aneka program kegiatan yang mencerminkan sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti  kota atau  desa bersholawat dan berbagai kegiatan keagamaan secara rutin diselenggarakan. Di negeri ini berbagai agama diayomi, dilindungi, disuburkan dengan Pancasila.

Ketika kita hendak memeluk Islam sumonggo, memeluk nasrani silakan, Hindu tidak masalah, Budha Oke. Agamamu agamamu, agamaku agamaku. Tetapi kalau kita hidup berbangsa dan bernegara, bergandeng tangan saling harga menghargai, hormat menghormati. Ideologi Pancasila tidak bisa digantikan dengan paham lain, bahkan paham agama. Nilai toleransi menjadi kunci dari implementasi sila pertama ini.

Kontrol secara organik oleh warga agar segenap bantuan maupun anggaran pembangunan di desa tidak dikorupsi adalah sebuah pengejawantahan dari nilai-nilai yang terkandung pada Sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradap. Kita wajib sangat anti terhadap korupsi karena korupsi merusak bangsa dan menihilkan rasa keadilan masyarakat.

Baca juga:  Media, Anak Muda dan G20

Maka kemudian, kita harus selalu bergerak memperbaiki diri dalam relasi sosial yang baik. tak sedikit desa-desa menjadi pelopor dalam gerakan anti korupsi ini, diantaranya adalah program sekolah di KPK, agen SPAK (saya perempuan anti korupsi). Ini nmerupakan bagian manifestasi nilai-nilai Pancasila yang diterapkan di berbagai progam kerja.

Bukan cuma itu, selain berbagai program di atas tadi, juga terdapat program bedah rumah dengan lelang gotong royongnya, sebagai praktik dari Sila Ketiga persatuan Indonesia. Melalui semangat kegotong-royongan dan kepedulian serta rasa tepo sliro, kita mendorong masyarakat saling bekerja sama membangun rumah saudaranya yang tidak layak huni.

Pada aras pedesaan juga selalu mengedepankan musyawarah mufakat dalam setiap kebijakan pembangunan. Dengan musrenbang, roadshow atau home visit ke rumah-rumah warga serta melalui kanal-kanal komunikasi terbuka secara luas, melibatkan dan meminta partisipasi aktif masyarakat untuk memberikan masukan kepada pemerintah desa atas pembangunan yang berjalan.

Hal ini sesuai dengan pengamalan Sila keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam per-musyawaratan/perwakilan. Aktualisasi dari Sila Kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pemerintah desa dan supra desa terus konsen dan peduli dalam upaya memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas agar mereka mendapatkan fasilitas maupun akses akses pekerjaan yang mudah seperti masyarakat lainnya, upaya ini terus dilakukan pendampingan dan terus mendorong pemberdayaan para penyandang disabilitas. Fasilitas umum juga terus diperbaiki agar bisa digunakan oleh mereka untuk aktifitas sehari-hari.

Baca juga:  Bergerak Menjaga Alam dan Budaya Bali

Entry point untuk menguatkan kembali kebinekaan bangsa kita salah satunya adalah pendidikan. Pendidikan menjadi bagian membangun kesadaran manusia Indonesia dalam menenun kembali tali kebinekaan yang terus digoyang beragam kepentingan. Untuk itu, pendidikan jangan sampai hanya mencetak manusia cerdas dan pintar saja, melainkan juga manusia yang siap membangun kerja sama dan gotong royong.

Roh kebhinnekaan terekam sangat nyata dalam gotong royong. Pendidikan yang meringkus gotong royong, pasti akan kedodoran dalam mengembangkan etos kebinekaan. Inilah yang harus direkam dan direalisasikan dalam kurikulum pendidikan kita, sehingga hadirnya jiwa dan personal yang bersifat publik mampu melakukan pembudayaan dan mengembangkan kecerdasan kewargaan.

Tak sedikit desa sudah membulatkan tekad menjadi bentengnya Pancasila dan benar-benar menjadikan Pancasila sebagai landasan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bagi Jawa Tengah sebagai bagian integral dan barometer pembangunan dan stabilitas nasional, Pancasila itu harga mati, karena nilai-nilai yang terkandung dalam 5 Sila Pancasila itulah jatidiri bangsa Indonesia yang mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan nasional.

Dan kepribadian masyarakat desa yang religius, berbudaya, ramah tamah, sopan santun, suka bermusyawarah dan bergotong-royong, suka bekerja keras, serta menjunjung tinggi toleransi dan solidaritas sosial, menjadi wujud nyata dari ajaran Pancasila. Begitu pula, Pancasila dan kebhinnekaan kita sebagai modal sosial dasar bangsa Indonesia menghadapi globalisasi yang terguncang saat ini.

Baca juga:  Bali Harus Kembali

Indonesia malah menjadi teladan dunia, Pancasila dianggap sebagai DNA-nya Indonesia bahwa bangsa Indonesia itu demokratis, beragam, eksotik, dan toleran. Saat ini banyak negara-negara modern gagal mengelola multikulturalisme.

Melalui agenda ini kita bekerja keras untuk terus merevitalisasi, memberi daya hidup nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila ke dalam setiap gerak langkah dan kehidupan sosial menjadi perilaku harian kita dan desa kita.  Ada cara-cara yang sederhana dan gampang, yang Insya Allah bisa lebih efektif dalam menginternalisasi nilai-nilai Pancasila, seperti gotong-royong, pentas musik kebangsaan, lomba cerdas cermat tentang Pancasila, dll.

Cara-cara aplikatif seperti ini yang harus terus kita kembangkan di seluruh desa Indonesia. Dan tidak harus selalu pemerintah yang menyelenggarakan karena tugas revitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah tugas kolektif kita. Di sinilah seluruh komponen masyarakat harus mengambil peran penting untuk membantu mensosialisasikan dan memberi teladan laku Pancasila kepada masyarakat dan anak-anak muda bangsa. Juga Desa. Bukan menggembosi apalagi memunggungi.

Penulis, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *