Oleh Agung Kresna
Karut-marut persoalan proses seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dalam menggunakan sistem zonasi, nampaknya masih terus berlanjut pada tahun ini. Banyaknya kasus tindak rekayasa dalam proses seleksi PPDB sistem zonasi menjadi bukti nyata bahwa PPDB sistem zonasi masih menyisakan beberapa persoalan.
Akar persoalan sebenarnya berawal dari lokasi sekolah yang belum merata sesuai dengan kebutuhan fasilitas publik (berwujud sekolah) dalam suatu wilayah permukiman tertentu. Hal ini karena lokasi sekolah kebanyakan saling berdekatan mengelompok dalam satu kawasan.
Karena saat sekolah dibangun, seleksi PPDB bertumpu pada nilai hasil ujian nasional.
Persebaran lokasi sekolah belum merata sesuai proporsi jumlah hunian calon siswa yang ada dalam satu wilayah tertentu. Hal ini terjadi karena selama ini pemerintah melakukan pembangunan/pengadaan
sekolah tidak berbasis pada jumlah calon siswa dalam suatu kawasan.
Namun hanya sekadar tergantung keberadaan lahan kosong untuk pembangunan sekolah. Sistem PPDB zonasi memang menjadi upaya pemerataan akses fasilitas pendidikan, serta menghilangkan stigma adanya sekolah favorit. Sekaligus dapat tercipta kelas yang heterogen.
Calon siswa didik diharapkan mencari sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Peserta didik akan
bersekolah di tempat yang tidak jauh dari lingkungan keluarganya.
Tata Ruang Kota
Sebenarnya penempatan segala jenis fasilitas publik dalam suatu kawasan permukiman, sudah diatur dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan yang diterbitkan Badan Standarisasi Nasional Indonesia (BSNI). Di sini diatur proporsi
penempatan semua jenis fasilitas publik.
Dalam SNI tersebut dipersyaratkan bahwa satu SMP harus ada dalam permukiman dengan 25.000 jiwa, dengan jarak tempuh siswa maksimal 1.000 meter. Sementara SMA harus ada dalam permukiman yang dihuni 30.000 jiwa, dengan jarak tempuh maksimal 3.000 meter. Sehingga diharapkan akan tercipta layanan fasilitas pendidikan yang merata.
Rencana Tata Ruang Kota/Wilayah (RTRK/W) mengatur penataan persebaran kelompok fasilitas publik bagi warga masyarakat. RTRK/W akan menciptakan keseimbangan pelayanan publik atas berbagai fasilitas
negara yang memang disiapkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Sekaligus juga menggambarkan jangkauan layanan fasilitas publik yang ada. Namun realitasnya saat ini keberadaan lokasi sekolah sebagai fasilitas pendidikan yang dituju calon siswa, belum tersebar secara merata mengikuti proporsi hunian penduduknya.
Lokasi sekolah masih banyak yang terkumpul dalam
suatu lokasi tertentu. Tidak sedikit sekolah berkualitas baik yang cenderung terkumpul pada sebuah kawasan permukiman elit.
Sementara di daerah kawasan padat penduduk yang relatif kumuh dan banyak dihuni penduduk berpenghasilan terbatas, justru minim dengan fasilitas pendidikan yang berkualitas. Keberadaan sekolah sebagai fasilitas publik bidang pendidikan, sering tidak mengikuti panduan zonasi yang dipersyaratkan dalam Tata Ruang Kota/Wilayah. PPDB sistem zonasi berawal
dari kehadiran Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, yang terbit pada 8 Mei 2017 (saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan/perbaikan) yang mengatur PPDB sistem zonasi.
Sudah tujuh tahun berlalu sejak mulai diberlakukannya PPDB sistem zonasi, namun pemerintah Kabupaten/Kota maupun Provinsi sebagai penanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, belum maksimal dalam melakukan penataan/relokasi sekolah guna sekaligus menata distribusi calon siswa dalam PPDB sistem zonasi.
Sudah seharusnya Pemda Kabupaten/Kota/Provinsi saat ini secepatnya juga menyusun peta distribusi calon siswa untuk TA 2025/2026, karena saat ini sudah terdeteksi data distribusi calon siswa; sebagai hasil dari PPDB TA 2024/2025. Sehingga diharapkan dalam PPDB sistem zonasi TA 2025/2026 akan lebih tertata.
Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar