Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aman Santosa. (BP/Antara)

JAKARTA, BALIPOST.com – Sebanyak 66 izin usaha penyelenggara fintech Peer to Peer lending (P2P lending) sejak 2020 hingga 12 Juli 2024 dicabut Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Langkah itu diambil OJK dalam rangka memperkuat pengembangan industri fintech P2P lending yang sehat dan berintegritas. “Dalam upaya penegakan ketentuan dan melindungi konsumen serta masyarakat, OJK telah melaksanakan off-site dan on-site supervision terhadap penyelenggara fintech P2P lending,” kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa di Jakarta, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (25/7).

Baca juga:  Brand Finance Taksir Nilai Merek BRI Capai 5,3 Miliar Dollar

Pada periode Januari 2024 sampai dengan Juni 2024 OJK telah mengenakan sanksi administratif terhadap penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau dikenal sebagai fintech P2P lending.

Sanksi tersebut terdiri dari 196 sanksi peringatan tertulis, 166 sanksi denda, tujuh sanksi pembatasan kegiatan usaha, dan satu pihak utama yang telah dikenakan sanksi penilaian kembali bagi pihak utama serta terhadap dua penyelenggara fintech P2P lending.

Baca juga:  Dari Asian Games Menuju Ajang Olimpiade

OJK telah melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti lebih lanjut. OJK juga telah melakukan moratorium perizinan baru penyelenggara fintech P2P lending sejak 2020.

Di sisi lain, dalam mengoptimalkan pemberantasan pinjaman online ilegal, OJK bersama dengan 15 Kementerian dan Lembaga yang tergabung dalam Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti) sejak 2017 hingga Juni 2024, telah menghentikan 8.271 entitas pinjaman online ilegal.

Baca juga:  Bantu Keberlanjutan Bisnis Bank, OJK Luncurkan Panduan Manajemen Risiko Iklim Bagi Perbankan

OJK mengimbau masyarakat untuk selalu berhati-hati, waspada, dan tidak menggunakan pinjaman online ilegal karena berpotensi merugikan masyarakat, termasuk risiko penyalahgunaan data pribadi peminjam. (Kmb/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *