Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Proses pendidikan sudah seharusnya mampu menumbuhkan perubahan pola pikir dan pola tindak pada siswa didiknya, bukan sekadar menjadikan siswa didik pintar secara intelektual semata. Reformasi pendidikan Indonesia harus dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek resmi menghapus sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA pada tahun ajaran baru 2024/2025. Kebijakan ini bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang sudah ditetapkan sebagai kurikulum nasional.

Kurikulum Merdeka secara bertahap sudah diterapkan sejak tahun 2021. Pada tahun ajaran 2024/2025 tingkat penerapan Kurikulum Merdeka sudah mencapai 90 – 95 persen untuk SD, SMP, dan SMA/SMK. Penjurusan di SMA pun otomatis dihapuskan dan siswa bebas memilih mata pelajaran sesuai minatnya. Pada saat kelas XI dan XII SMA, murid dengan Kurikulum Merdeka dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan, dan aspirasi studi lanjut atau karirnya. Sehingga murid bisa lebih fokus untuk membangun basis pengetahuan yang relevan dengan minat dan rencana studi lanjutnya.

Baca juga:  Lemahnya Sistem Tata Kelola, Awal LPD Bermasalah

Reformasi Paradigma

Selama ini ada kecenderungan masyarakat/orangtua murid lebih mengarahkan anaknya untuk memilih jurusan IPA karena dianggap memiliki kemudahan saat mendaftar kuliah. Padahal bisa jadi hal itu dilakukan belum tentu sesuai dengan refleksi tentang bakat, minat, dan rencana karir sang anak. Penghapusan jurusan di SMA juga diyakini akan menghapus diskriminasi terhadap murid jurusan non-IPA dalam seleksi nasional mahasiswa baru. Melalui Kurikulum Merdeka, semua murid lulusan SMA dan SMK dapat melamar ke semua program studi melalui jalur tes, tanpa dibatasi oleh jurusannya ketika SMA/SMK.

Akibatnya murid juga akan bisa belajar dan lebih menjiwai, karena mata pelajaran yang dipilih sudah dengan passion-nya. Sehingga siswa tidak akan merasa rendah diri jika memilih mata pelajaran non-IPA. Bagai tidak ada lagi kastanisasi kelompok ilmu di sekolah. Masing-masing murid akan belajar lebih mendalam sesuai minat dan bakatnya. Tantangan bagi sekolah adalah, harus menyiapkan/mengakomodasi kelengkapan sarana prasarana pendidikan murid, sesuai dengan beraneka ragam bakat dan minat siswanya. Karena bisa jadi ada muridnya yang berminat menjadi desainer, seniman, ataupun olahragawan. Ketersediaan fasilitas dan sumber daya pengajarnya tentu menjadi tanggung jawab sekolah.

Baca juga:  Dinas Perikanan Kewalahan Penuhi Permintaan Bibit Ikan Air Tawar

Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA diyakini akan membuahkan hasil dalam jangka panjang untuk generasi masa depan. Meski demikian, beberapa mata pelajaran umum, seperti Bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, serta Kesenian tetap diwajibkan. Nation character building tetap tidak boleh dikesampingkan. Pendidikan adalah upaya mencerahkan siswa didik. Selama ini proses pendidikan Indonesia sejak pendidikan dasar hingga tingkat pendidikan tinggi, masih cenderung sebatas upaya menghafal informasi. Semua masih berkutat di wilayah pengajaran, belum optimal dalam wilayah pendidikan. Pendidikan harus menghasilkan siswa yang merdeka dalam berpikir.

Baca juga:  Siswa TK Alit Kirana Mejaya-Jaya, Sucikan Diri Sebelum Menuntut Ilmu

Siswa didik harus dapat mengembangkan diri sesuai passion/minat dan bakat yang ada dalam diri seorang siswa, melalui proses pendidikan yang dijalaninya. Setiap siswa didik memiliki passion yang berbeda-beda, sehingga pada proses pendidikan tidak boleh dilakukan penyeragaman dalam mengukur tingkat kemampuan intelektual seorang siswa didik. Tidak ada salahnya jika kita merenungkan kembali hakikat proses pendidikan yang dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara. Ing Ngarsa sung Tulada (di depan memberi contoh), Ing Madya Mangun Karso (di tengah membangun kebersamaan), Ing Wuntat Tutwuri Handayani (di belakang memberi dukungan dan apresiasi).

Penulis Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *