Oleh I Gusti Ketut Widana
“Bali Jadi Pusat Pabrik Narkoba “Zombie”, “Bali Sarang Empuk Produsen dan Pasar Narkoba Internasional”, demikian headline mencolok sekaligus menonjok media Bali Post (Selasa, 23/7 & Rabu, 24/7). Kutipan beritanya : “Pulau Bali kini menambah predikat yakni sebagai pulau surganya judi juga pulau pabrik narkoba. Setelah ditemukan lab dan pabrik narkoba di Kuta Utara Badung, dan kini Badan Narkoba Nasional (BNN) menggerebek pabrik narkoba jenis Zombie di Payangan Gianyar. Bali kini menjadi sarang empuk beroperasinya pabrik atau produsen narkoba sekaligus pasar narkoba jaringan internasional. Hal ini terungkap pada pengungkapan pabrik narkoba di sebuah vila, Jalan Keliki Kawan, Payangan, Gianyar seperti dirilis Kepala BNN, Komjen Pol. Marthinus Hukom di TKP, Selasa (23/7).
Luar biasa, bukan tentang prestasi yang dapat mengangkat prestise tetapi justru bikin frustasi lantaran “taksu” Bali sebagai pulau kahyangan, pulau dewata, pulau surga jatuh terjerembab ke titik nadir, ternoda dengan label baru sebagai pulau pabrik plus pasar narkoba jaringan global, menyusul julukan sebagai pulau judi (offline/online). Entah fenomena apa yang kini sedang menohok Bali hingga terpojok di tengah dinamika dalam realita dengan segala problematikanya. Adakah yang salah dengan Bali?
Secara niskala, alam Bali dikenal gaib dan sakral, berkat tindakan bhakti melalui perilaku krama Bali (Hindu) yang tiada hari tanpa ritual yadnya. Sekeliling pulaunya juga dikitari puluhan bahkan ribuan Kahyangan dimana para Dewa manifestasi Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari leluhur menjaga aura/vibrasi kesuciannya. Di tingkat wilayah (palemahan) desa di Bali pun tak kalah kokoh eksistensinya lantaran dibentengi 1.500 desa adat/pakraman – pewaris sekaligus penerus ajaran Mpu Kuturan.
Namun, apa mau dikata, mencermati dan menelisik Bali secara sakala (nyata) sesuai fakta dan data, tenyata di balik aura religis, vibrasi mistis dan daya magis ditambah karakter sosialistis dan humanis masyarakat Bali terpendam sisi dilematis, bikin miris, ironis bahkan tragis. Lantaran begitu banyak terungkap, dan tersingkap kejadian/peristiwa memalukan sekaligus memilukan, seperti dilansir berita di atas. Apakah penyebabnya, setidaknya dapat dikuak beberapa di antaranya;
Pertama, secara internal: 1) krama Bali cenderung bersikap dan berprilaku permisif (acuh tak acuh) dengan apapun, siapapun yang datang dari luar; 2) desa adat pun terlalu akomodatif, seakan tidak ada filterisasi atau seleksi terhadap infiltrasi dan akselerasi kaum migran termasuk dalam urusan investasi; 3) lebih mementingkan persyaratan administrasi – legal formal – hitam diatas putih, apalagi di era digital seperti sekarang ini, semua urusan birokrasi seperti perizinan bisa diselesaikan lewat online; dan 4) rendahnya kemampuan deteksi, mitigasi dan prediksi terhadap kemungkinan adanya potensi (bahaya laten) yang mengancam jati diri Bali.
Kedua, secara ekternal berkaitan dengan pihak luar Bali terutama para pendatang (termasuk asing) yang harus diakui kepentingan utamanya, mencari dan kemudian mendapatkan lahan penghidupan melalui berbagai profesi dan atau investasi yang dilakoni. Tak terkecuali terungkapnya pemanfaatan rumah mewah/vila sebagai lab/pabrik narkoba jaringan internasional di Kuta Utara dan Payangan yang sebenarnya masih dalam lingkup wilayah (wewidangan) desa adat, dan semestinya berada dalam pantauan krama setempat. Tapi ternyata luput dari perhatian alias kecolongan.
Belum lagi menyangkut lemahnya posisi peraturan daerah dalam hierarkhi perundang-undangan negara. Sehingga untuk urusan perizinan investasi (besar) misalnya, pihak Kementerian pusat bertindak selaku penentu/pemutus. Sementara daerah tak kuasa menolak, meski ada hal-hal yang dalam realita tidak sesuai dengan situasi kondisi dan nilai-nilai kearifan lokal Bali. Termasuk adanya pelanggaran terhadap aturan awig-awig/pararem yang seharusnya menjadi benteng terakhir pertahanan desa adat. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika desa adat, satu demi satu kebobolan dengan hadirnya lab/pabrik narkoba berjaringan internasional.
Belum lagi ditambah kian maraknya ulah negatif para WNA plus aksi kriminal yang kian menodai bahkan merusak citra Bali sebagai pulau surga yang kini justru menjelma menjadi surganya berbagai tindakan destruktif, manipulatif (penipuan/bodong) dan kontra produktif. Tampaknya, diperlukan kesadaran dan kepedulian tingkat tinggi masyarakat untuk lebih “ngeh” (peduli) menjaga keajegan Bali.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar