BANDUNG, BALIPOST.com – Sekitar 13 persen populasi Indonesia atau sekitar 35,8 juta orang, mengalami penyakit gula, dan potensi ini bisa semakin parah bila tidak ditangani secara berkelanjutan. Hal itu disebutkan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.
“Itu dialisis, kalau enggak dilakukan penanganan tiap hari, itu bisa jadi penyakit kronis. Ukuran paling gampang, lihat ukuran celana jeans, kalau di atas 34, kemungkinan gulanya banyak,” kata Budi di Gedung Sate Bandung, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (2/8).
Oleh karena itu, dia berharap masyarakat, terutama anak-anak, harus mulai mengurangi konsumsi makanan dan minuman tinggi gula, sebagai pencegahan timbulnya penyakit kronis. “Anak-anak sekarang minumnya gula semua. Itu yang harus dikurangi. Kembali ke tanpa gula,” ujarnya.
Banyaknya konsumsi gula pada makanan dan minuman, lanjut Budi, berkelindan dengan kasus anak yang harus menjalani cuci darah karena mengalami kegagalan ginjal.
Hal ini, berpotensi semakin meluas, dengan tren makanan dan minuman manis saat ini yang makin membuat anak terbiasa mengonsumsi asupan berkadar gula tinggi, karena itu dia meminta agar konsumsi gula dikurangi sesuai batas aman, untuk menekan risiko penyakit.
“Banyak anak sekarang dikasih minum dan makan dengan gula tinggi. Jadi Indonesia suka gula. Padahal gula itu penyebab segala macam penyakit. Mulai dari ginjal, hati, stroke, jantung, itu penyebabnya gula,” ujar Budi.
Menurut dia, idealnya konsumsi gula per hari maksimal empat sendok teh. Dan jika lebih dari itu, berpotensi merusak ginjal, hingga efeknya harus kasus cuci darah seperti yang terjadi pada anak saat ini. “Untung Jawa Barat kalau minum teh, pahit. Ini harus dicontoh. Jadi kalau bisa jangan pakai gula,” ucapnya.
Di lokasi yang sama, Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin mengatakan peran orang tua dan keluarga sangat penting untuk saling mengingatkan agar mengkonsumsi makanan dan minuman sehat, serta mengurangi konsumsi gula, garam dan lemak berlebih.
“Cuci darah kan kebanyakan ke anak (ada peningkatan), sekarang tetap peran orang tua yang penting untuk anak itu. Jangan sampai kejadian tidak dijadikan contoh,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bey mengatakan pihaknya mendesak Kementerian Kesehatan dan pihak terkait untuk segera menerapkan label khusus pada makanan dan minuman kemasan, guna mencegah munculnya lonjakan kasus anak cuci darah yang angkanya terdeteksi tinggi.
Menurut Bey, dengan ditandatanganinya Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan oleh Presiden Joko Widodo, Kementerian Kesehatan bisa segera menindaklanjuti dengan langkah menerapkan penandaan khusus pada makanan dan minuman terkait kandungan gula, garam, lemak (GLG).
“Kami harap segera memberikan penandaan kepada kemasan minuman makanan terkait GLG, sehingga masyarakat tak khawatir dan ada kepastian berapa gula yang baik, garam yang baik. Jadi tinggal diberikan tanda misalnya hijau berarti aman, itu kan masyarakat lebih mudah lagi dan akan aman serta bagus untuk anak-anak,” ujarnya.
Sebelumnya, Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin (RSHS) Bandung Jawa Barat memastikan tidak ada lonjakan jumlah pasien anak yang memerlukan pengobatan cuci darah atau hemodilalisis di rumah sakit tersebut.
Staf Divisi Nefrologi RSHS Bandung dr Ahmedz Widiasta di Bandung Kamis mengatakan, saat ini terdapat sekitar 20 anak menjalani cuci darah secara rutin setiap bulannya di Poliklinik Hemodialisis RSHS Bandung.
Dia menyatakan bahwa hingga saat ini jumlah pasien anak yang menjalani hemodialisis di RSHS stabil dan tidak menunjukkan peningkatan signifikan.
Bahkan beberapa pasien anak telah mendapatkan rujukan untuk mendapatkan pengobatan ke rumah sakit di daerahnya masing-masing. (Kmb/Balipost)