Oleh Marjono
Kita mengelus dada atas viralnya kisah seorang warga diharuskan membayar uang tunai senilai Rp1,5 juta oleh pengurus RT saat berpindah domisili di Kelurahan Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul. Praktik kusut di atas jelas sangat menikam masyarakat, surat pindah saja belum tiba-tiba diminta dana dengan besaran yang tak sedikit bagi ukuran kantong warga yang tentu saja kita belum berdialog tentang latar belakang hingga profesinya.
Bayangkan, jika yang akan atau baru pindah rumah maupun alamat itu warga miskin pekerjaannya serabutan. Apakah RT juga berkeras menarik uang tersebut, sementara hari ini bisa makan apa tidak dengan menu paling bawah sekalipun. Belum lagi berapa tanggungan keluarga yang pindah tersebut, apakah masih butuh biaya sekolah atau pembiayaan lainnya.
Sulit bagi saya untuk bersepakat dengan RT apalagi Lurah Bangunjiwo yang menyatakan penarikan besaran biaya tersebut merupakan kearifan lokal yang akan masuk ke Kas RT untuk kegiatan pembangunan di wilayahnya. Kearifan lokal mana, ketika pungutan biaya itu justru menjadi beban yang hanya memberatkan masyarakat.
Kearifan lokal itu sumbangan sukarela, itu kearifan lokal. Pungutan dimana pun nihil kearifan lokal. Praktik kusam ini hanya menunjukkan lenyapnya sense of crisis elite desa maupun pemdes-nya. Mengindikasikan hanya mengejar tumpukan setoran tanpa melihat kebutuhan prioritas dari warganya.
Sementara itu, terkait kasus viral itu, Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan pengurus RT tersebut ilegal dan bisa berakibat hukum. Tidak ada peraturan perundangan dan ketentuan tentang kependudukan yang mengatur hal itu. Kita mahfum, perpindahan penduduk hanya mensyaratkan terkait dokumen dari catatan sipil dan kependudukan yang ditetapkan oleh Disdukcapil setempat.
Praktik berdalih kesepakatan atau kearifan lokal itu sangat bias, dan rata-rata pertanggungjawabannya tidak jelas. Pungutan apapun, sedikitnya telah terjadi penyimpangan alias salah kaprah. Ironi Pemdes atau RT yang rata-rata terpelajar, well educated masih melakukan praktik gelap tersebut. Betapa mereka keras hatinya, kusam hati dan kurus jiwanya. Coba kita kembalikan hal serupa kepada keluaga mereka kala pindah kependudukan harus berbayar.
Tak hanya di Bangunjiwo, praktik-praktik menyedihkan tersebut seolah telah menjadi hegemoni yang akut. Acap pungutan disuarakan bertopeng hasil musyawarah warga, atas nama masyarakat hingga berbalut merawat sarana prasarana/infrastruktur pembangunan desa. Diakui atau tak diakui, baragam aksi pungli nampaknya masih menggeliat di sejumah desa di negeri ini.
Di sini, sebagian warga emosionalnya beraduk, antara sungkan dengan elit desa, tidak enak dengan RT, takut atau khawatir lainnya, misalnya dikucilkan atau di-bully warga lainnya, paling parah oleh perangkat desa/kelurahan. Itulah kemudian, sudah saatnya warga berani speak-up, berani melapor dan melawan segala bentuk korupsi, gratifikasi dan pungli. atau disulitkan ketika mengurus administrasi kependudukan (adminduk).
Cita-cita Bersama
Mendiang Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo delapan tahun silam pernah menegaskan tidak boleh ada pungutan di lingkugan warga terkecil seperti RT dan RW. Namun, berbeda halnya kalau ada suatu program kegiatan rutin yang sudah disepakati bersama di lingkup tersebut, misalnya iuran berkala di lingkungan RT/RW untuk siskamling dan kebersihan, menurut dia, itu tidak masuk pungli.
Itulah mengapa, mulai saat ini semua elemen masyarakat penting untuk merevolusi mental masing-masing, etos dan etik harus bekelindan, jangan sampai kearifan lokal terkoyak dengan ulah beragam pungutan yang ujungnya menyengsarakan masyarakat. Melihat fakta yang terjadi, Pemda perlu segera melakukan edukasi, penertiban dan penataan. Tindakan hukum dan sangsi tegas wajib diberlakukan terhadap mereka yang terlibat dalam praktik ilegal ini, untuk mencegah kejadian serupa di wilayah lain.
Mari kita mengerjakan cita-cita bersama. Bersatupadu bertekad memerangi pungli, menciptakan lingkungan yang bemartabat dan adil, serta memberikan pelayanan publik yang jauh lebih baik. Cepat, mudah dan murah. Jika sudah demikian, akan membawa lingkungan RT/RW kita yang peduli dan menghormati hak-hak warganya dan berkomitmen memberantas pungli hingga akar-akarnya untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.
Akhirnya, keteladanan pemimpin profetik menjadi bagian kunci atau cara efektif menyebarkan virus anti pungli kepada warga masyarakat. Mari pacu kuda waktu kita untuk membalik pungli(isme) menjadi fobia pungli, bukan kapok lombok maupun tobat tomat.
Penulis, ASN Bapenda Provinsi Jawa Tengah