Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kesadaran untuk mengerti tentang keluhuran adalah peningkatan hidup yang berkualitas sehingga semakin terjadi penyeimbangan yang berkualitas di antara kualitas dan kuantitas. Inilah cerminan dari keluhuran karena luhur berarti meningkat. Kemampuan untuk meningkatkan kualitas bukanlah sesuatu yang baru namun sebagai sesuatu yang tidak mudah ataupun gampang jika kenyataan tidak mendukung.

Kenyataan berarti lingkungan yang kondusif agar tidak mudah jatuh ke arah yang berlawanan dengan upaya peningkatan kualitas tadi itu. Kemudian, sesuatu yang pahit jika seseorang terjerembab jatuh dan kemudian mungkin bisa bangun, namun kesusahan.

Terjerembabnya seseorang dalam kecelakaan berupa jatuh itu dapat diindikasikan jika sesuatu itu adalah seseorang yang sebenarnya mampu untuk bertahan, namun untuk apa bertahan jika memang tidak patut untuk menjadi hidup hanya sebatas bertahan. Kemudian, adalah ada seseorang yang terjatuh namun tidak mungkin jatuh dalam kecelakaan yang disengaja.

Inilah yang penulis sebut sebagai bentuk keluhuran. Keluhuran adalah kesempatan untuk tidak lagi terjatuh apalagi sampai terjerembab sehingga kemungkinan untuk menjadi terluka tidak terjadi. Begitulah harapannya.

Kemudian, adalah terkesan simple apabila tidak ada kehadiran yang menunjang agar budaya terbangun secara konstruktif sehingga budaya adalah sebagai kekuatan dan bukan sebaliknya sebagai kelemahan. Ketika terjatuhnya secara disengaja maka orang itu dapat dikatakan untuk dengan sengaja pula untuk mencoba melakukan penghancuran. Namun, penghancurannya tidak mungkin dijadikan sebagai alasan atau pun bahkan argumentasi agar dirinya sebagai penghancur.

Baca juga:  Membangun Kesadaran Membayar Pajak

Oleh karena itu, saya ataupun aku atau bahkan hamba, adalah bentuk bahasa yang sudah dikenal sebagai subjek. Inilah yang mengindikasikan bahwa pertama, hamba ataupun saya dan juga aku adalah orang Bali yang menjadi subjek atas kebudayaan Bali adanya. Kedua, kenyataan hidup di Bali adalah luhur jika memenuhi itu. Ketiga, leluhur adalah ke arah ketinggian. Keempat, ketinggian adalah ke tempat yang lebih luhur. Kelima, tidak ada tempat yang luhur tanpa keluhuran.

Keluhuran Bali berarti pertama, keadaan yang menempatkan kenyataan hidup yang nyata sebagai faktor yang dijadikan paling menentukan untuk berbudaya. Kedua, keluhuran adalah tempat yang mengandung waktu untuk menentukan diri manusia sebagai yang memiliki leluhur untuk dihargai apa yang patut untuk dihargai. Inilah sebagai bentuk evaluasi kritis atas keberadaan dari leluhur.

Baca juga:  Pemerintah Tingkatkan Kesadaran Tentang SDGs

Ketiga, kenyataan bahwa tempat yang menunjuk kepada dimensi waktu adalah perlu sekalipun tidak terlalu penting jika hanya mengandalkan ke mana arah leluhur melangkah bukannya apa yang dapat dipelajari dari para leluhur secara kritis konstruktif. Keempat, dapat diketahui keluhuran budi berdasarkan pengetahuan atas dasar kenyataan.

Itulah yang mendasari pula bagaimana para leluhur berjuang untuk hidup bukan hidup tanpa perjuangan. Kelima, perjuangan disadari dengan semakin dalam bahwa mengandung ketenteraman di dalam hati sehingga terjadi kemantapan untuk terus bergerak mencapai titik keseimbangan (equilibrium) agar kelak tidak terjadi hura-hara. Keenam, adanya keseimbangan yang benar sehingga keseimbangan itu bukan ideologis melainkan terbuka. Ketujuh, titik berat dalam keluhuran adalah tidak ada keberatan. Ini berarti yang ada hanya ketulusan.

Keberadaan suatu bentuk dan pola keluhuran Bali dapat diidentifikasikan sebagai tanpa bentuk dan pola yang tertentu dan bahkan yang tersendiri. Bentuk dan pola itu bukan sebagai yang menghambat keluhuran untuk dicapai oleh manusia yang hidup melainkan justru mampu untuk menjadikan manusia yang hidup berupaya keras dan kuat dalam kecerdasan yang semakin dalam. Semakin dalam berarti satu per satu dari persoalan hidup itu mampu dicarikan jalan keluar untuk tidak terjebak di dalam kubangan yang menjebak. Keterjebakan yang seperti itu menandakan manusia untuk semakin tersadarkan agar mampu keluar sebagai manusia yang berbudi pekerti luhur.

Baca juga:  Ketimpangan Semakin Lebar

Budi pekerti luhur adalah pertama, kemampuan untuk tidak terjebak dalam rutinitas yang tidak penting. Ini berarti mampu untuk mengetahui apa dampak dan pengaruh dari rutinitas itu bagi kemajuan berkehidupan dengan dasar keluhuran. Kedua, Bali dengan sebutan pulau Dewata bukan sebagai identitas formal dalam pengertian bahwa jika demikian semua orang Bali seperti Dewa melainkan semua orang Bali berketurutan untuk bertindak sebagai orang yang mengundang kedewataan.

Ketiga, kedewataan adalah keadaan yang menunjukkan bagaimana orang Bali pada umumnya mampu untuk menentukan dan bahkan memutuskan jika dirinya tidak baik segera untuk bertindak kritis. Ini seperti keadaan kritis di dalam sebuah rumah sakit yang harus segera diambil tindakan kritis. Keluhuran Bali tidak terdampak oleh hiruk pikuk dunia. Inilah sebagai dasar dari keberadaan keluhuran. Sekalipun hiruk pikuk dunia sempat untuk hidup di Bali.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *