I Gusti Ketut Widana (BP/Dokumen)

Oleh I Gusti Ketut Widana

“Sinyal Munculnya Resesi”: Angka PHK di Indonesia Januari–Juni 2024 tercatat naik 21 persen. Secara nasional leading indikator menunjukkan sinyal akan munculnya resesi lagi” (BP, Rabu, 7/8). Dan ketika dunia benar-benar kembali dilanda resesi, bagaimana halnya dengan aktivitas ritual suci Hindu di Bali yang seakan tiada pernah terhenti yang secara konsepsi bertujuan menjaga dan merawat bumi (Bali) ajeg harmoni dan lestari? Hanya ada satu saran: hadapi resesi, kurangi resepsi.

Aktivitas ritual itu sejatinya bagian dari praktik yadnya, wujud pengorbanan umat Hindu dalam bentuk persembahan kepada Tuhan dan manifestasinya (Dewa Yadnya), para Resi (Resi Yadnya), leluhur (Pitra yadnya), manusia (Manusa Yadnya), dan juga alam (Bhuta Yadnya). Aktivitas ritual berupa haturan sesaji (upakara/bebanten) sebenarnya identik dengan resepsi.

Sebuah perhelatan atau perjamuan yang pertama-tama ditujukan kepada Beliau (supreme beeing), baru kemudian dikonsumsi (dinikmati) sebagai ‘prasadam’ (lungsuran) simbol perolehan berkah anugerah-Nya. Jika tidak demikian alur konsepsi dan prosesinya, maka umat Hindu dianggap sebagai pencuri sekaligus memakan (menambah) dosa (Bhagawadgita, III. 12-13).

Baca juga:  Sejumlah TPS di Kecamatan Melaya Kurang Surat Suara

Begitu tingginya frekuensi, durasi dan sirkulasi kegiatan ritual umat Hindu (Bali) berimplikasi besar secara sosial ekonomi. Pada ranah sosial membangkitkan solidaritas komunal/kolegial yang masih kental diliputi suasana tradisional. Sedangkan pada aspek ekonomi berkaitan dengan urusan pembiayaan secara finansial (keuangan), diperlukan modal kapital untuk mengekspresikan modal simbolik praktik yadnya.

Bahkan ketika kebutuhan material ritual sudah masuk ke dalam mekanisme pasar, serta merta berubah menjadi barang konsumsi. Apalagi dalam kajian Sukarsa (2019), kebutuhan sarana ritual, kini tidak lagi sebagai konsumsi tersier tetapi sudah meningkat menjadi konsumsi sekunder bahkan primer.

Contoh, sambil membeli sembako tak lupa membeli canang. Sembako untuk dikonsumsi keluarga sehari-hari, canang dihaturkan sebagai sesaji (-an) kepada Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari. Oleh karena dipengaruhi fluktuasi pergerakan harga di pasar, berimplikasi pada tingkat inflasi. Sampai pernah dirilis Biro Pusat Statistik, yang kemudian membuat pihak tertentu tak terima, ketika sarana persembahan berupa canang disebutkan sebagai salah satu mata dagangan pemicu inflasi.

Baca juga:  Guru, Teknologi dan Moralitas

Padahal itulah realita hukum pasar, benda apapun (profan atau sakral) ketika sudah masuk mekanisme pasar statusnya berubah menjadi barang konsumsi. Di situ terjadi jual beli yang pergerakan harganya tidak lepas dari supply and demand (penawaran dan permintaan).

Lalu bagaimana halnya jika tingkat inflasi tak terkendali seiring bayang-bayang dunia kembali dilanda resesi? Sepanjang menyangkut kewajiban suci dalam konteks ngaturang bhakti kepada Hyang Widhi dan Ida Bhatara-Bhatari, wajib tetap dijalani. Hanya saja permasalahannya, umat Hindu kekinian dalam hal mengekspresikan emosi (rasa) keagamannya cenderung dipengaruhi bahkan disusupi pengaruh gaya hidup postmodern yang lebih mementingkan penampilan fisikal/personal dan sajian material, daripada peningkatan rohani guna mencapai kesadaran spiritual.

Ke semua itu terjadi tidak lepas dari pengaruh “ideologi pasar”, suatu ideologi (ide, gagasan) yang berakar kuat pada kapitalisme Barat dengan menempatkan materi (uang, barang) sebagai konsep penting dalam mengaktulalisasikan diri di tengah kehidupan modern melalui gaya hidup konsumeristik-hedonistik. Tak terkecuali fenomena belakangan yang kian eksis, mentradisikan acara tambahan di luar ritual suci, yang beraroma “penghiburan” (kesenangan), sehingga menjauh dari obsesi “pengluhuran” (ketenangan, kedamaian).

Baca juga:  Tolok Ukur Kesuksesan?

Seperti menggelar acara resepsi (party) di hampir setiap upacara yadnya dengan mengedepankan nuansa eufo/fun ritual bertendensi happy religion : penuh kesemarakan dan gairah bersenang-senang. Akibatnya suasana aktivitas bhakti lewat ritual yadnya yang sejatinya berdimensi sakral-transendental dengan cepat berubah dan menghadirkan dimensi profan. Sementara obsesi bhakti untuk penguatan religiositas/spiritualitas justru dilindas bahkan terhempas, akibat derasnya hasrat “pemanjaan raga” daripada “penyucian jiwa”. Sudah saatnya kini ketika hadapi resesi, acara resepsi dikurangi dengan kembali pada inti sari hakikat ritual suci.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *