Bram Sarjana. (BP/Istimewa)

Oleh I Made Bram Sarjana

Belakangan ini berbagai masalah mendera industri pariwisata Bali. Salah satu pusaran masalah terletak pada wisatawan/orang asing, akibat perilaku tidak beretika, ugal-ugalan, bahkan melanggar peraturan perundang-undangan. Sudah amat jamak berita dan informasi tentang wisatawan/orang asing bertengkar dengan sesamanya, warga lokal, wisatawan domestik, bahkan polisi. Terakhir, bahkan terbongkar adanya pabrik narkoba jenis zombie, yang dimotori warga asing. Bagaimana karut marut pariwisata ini bisa terjadi?

Ketika tahun 2020 dunia dilanda pandemi, industri pariwisata yang menjadi penggerak utama perekonomian Bali mengalami kelumpuhan. Patut disyukuri, tahun 2022 dunia semakin sehat dan pariwisata dapat bergerak lagi. Data bahkan menunjukkan kunjungan wisatawan ke Bali setelah pandemi naik tajam, melampaui masa sebelum pandemi. Setelah dua tahun tidak dapat berwisata akibat pandemi, wisatawan melakukan perjalanan wisata yang seolah ”balas dendam” (revenge tourism) kerinduan berwisata.

Karena kebutuhan untuk dapat segera menggerakkan industri pariwisata sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, pemerintah memberlakukan kebijakan visa on arrival (VoA) bagi beberapa negara, untuk mempermudah kedatangan wisatawan asing. Animo perjalanan yang amat tinggi serta kebijakan VoA membuat kedatangan wisatawan asing ibarat tsunami dan wisatawan yang datang tidak terfilter dengan ketat.

Baca juga:  Saatnya Bali Miliki Badan Otorita Pariwisata

Volume wisatawan yang demikian besar berakibat pula pada kian sulitnya pengawasan. Dampak yang kemudian terjadi adalah overtourism, yaitu situasi kondisi yang dirasakan warga atau wisatawan berupa degradasi kenyamanan berwisata karena terlalu banyaknya jumlah wisatawan di suatu tempat. Overtourism membuat warga lokal merasa kesal, terganggu dengan kehadiran wisatawan, meroketnya harga sewa properti karena wisatawan menetap lama dengan menyewa rumah/kamar, serta alih fungsi lahan yang massif. Dalam catatan World Travel & Tourism Council (WTTC) beberapa destinasi yang mengalami overtourism yaitu Barcelona (Spanyol), Florence (Italia), Athena (Yunani), Paris (Perancis), Phuket (Thailand) dan Bali (Indonesia).

Fenomena overtourism yang terjadi di Bali nampaknya adalah berlebihannya kedatangan orang asing yang sejatinya bukan wisatawan. Pariwisata adalah “hospitality industry”, yang intinya adalah keramah-tamahan. Oleh karena itu sungguh memprihatinkan, ketika keramahtamahan karena kesadaran bahwa pariwisata menjadi sumber payuk jakan, justru dibalas dengan perilaku ugal-ugalan. Ini nampaknya terjadi karena sebagian dari orang asing yang datang itu bukan wisatawan yang ingin menikmati keindahan alam dan budaya Bali, melainkan sekadar mencari tempat aman untuk bisnis ilegal, menghindari kewajiban pajak, atau menghindari wajib militer.

Baca juga:  Bali di Ambang “Overtourism”

Karakteristik sebagian wisatawan/orang asing yang datang ke Bali di era pascapandemi ini seolah membuka kembali memori kelam masa penjajahan. Mereka, orang asing yang datang dari negara-negara yang telah memperoleh “kasta” sebagai negara maju datang ke Nusantara, membawa egoisme dan mentalitas “tuan besar”, supremasi bangsa kulit putih, yang lebih berkuasa daripada orang lokal. Mereka memanfaatkan mentalitas inferior orang pribumi, yang ratusan tahun telah ”ditanamkan” Belanda dan Jepang maupun bangsa penjajah lain kepada bangsa Indonesia.

Baca juga:  Indonesia Dukung Palestina Menjadi Negara Merdeka

Berkaca dari berbagai masalah tersebut, maka sudah sepatutnya kebijakan membuka pintu yang seluasnya bagi orang asing dievaluasi kembali. Kedatangan orang asing harus terfilter dengan ketat, serta diawasi dengan ketat. Janganlah sampai di Bali terjadi seperti yang terjadi di Barcelona, yaitu aksi kemarahan dan pengusiran warga lokal kepada wisatawan asing.

Kedaulatan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan terhormat harus ditegakkan. Carut-marutnya pariwisata merupakan sinyal bahwa sektor-sektor ekonomi lain yang dimiliki Bali perlu dikembangkan, agar Bali memiliki bargaining power yang lebih baik, sehingga berani dan mampu memfilter wisatawan yang datang ke Bali. Ketika Bali masih sepenuhnya bergantung pada sektor pariwisata, harga yang harus dibayar amat mahal, yaitu ”penjajahan” atas harkat, martabat dan alam Bali. Semoga Bali merdeka dari overtourism.

Penulis adalah Analis Kebijakan pada BRIDA Kabupaten Badung

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *