Oleh I Gusti Ketut Widana
“Kehadiran wisatawan ke Bali memang memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan devisa bagi negara. Namun, dampak sosial yang ditimbulkan justru mengganggu tatanan masyarakat Bali. Pariwisata yang seharusnya menyejahterakan, kini semakin merusak Bali.
Dibutuhkan penegakan aturan untuk mengembalikan tatanan pariwisata yang membawa kebaikan bagi Bali” (BP, Senin, 12/8). “Pariwisata bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi akan sangat menguntungkan, di sisi lain bisa merusak Bali. Pelaku pariwisata dan kalangan akademisi memberi solusi, yakni perketat penerapan regulasi untuk pembangunan berkelanjutan dan perkuat mental krama Bali dalam menerima kunjungan wisatawan dan mengelola pariwisata” (BP, Rabu, 14/8).
Ibarat madu dan racun, pariwisata Bali menjadi dilematis plus ironis. Nikmat hasilnya serasa madu (manis), di balik itu dampak negatifnya bagaikan sengatan bisa racun, merusak syaraf sendi kehidupan masyarakat Bali. Lantaran modal kekayaan alam, kemuliaan dan kesucian praktik ritual (yadnya), keagungan budaya, keluhuran seni, dan keunikan adat-tradisi yang tak lepas dari dimensi spiritual (sakral) terus dieksploitasi demi terus bertumbuhnya industri pariwisata yang sarat aroma kapitalisasi lewat komersialisasi, komodifikasi dan transaksi.
Tak salah jika kemudian kalangan akademisi memberi solusi agar krama Bali menguatkan mental menghadapi kenyataan, terutama terkait urusan pengetatan regulasi
yang seperti macan kertas, tak bergigi. Terlebih terancamnya keajegan Bali yang kian dikepung sekaligus dirongrong dari segala lini, demi target kontribusi PAD dan devisa kian meninggi.
Meski konsekuensinya menimbulkan beragam ekses, baik positif yang bersifat tentatif dan spekulatif dari sisi pertumbuhan ekonomi. Terkhusus lagi dan penting diatensi yaitu dampak negatifnya : 1) tekanan sosial-demografi akibat bertambahnya populasi penduduk (lokal & asing); 2) semakin menciutnya kawasan pertanian lewat alih fungsi lahan; 3) bertambah kroditnya lalu lintas jalan raya berimbas pada kemacetan; 4) melubernya sampah yang tak mampu ditangani; 5) persaingan ekonomi kian ketat antar penduduk lokal dengan kaum migran, termasuk warga asing; 6) degradasi nilai budaya dan seni melalui komersialisasi; 7) desakralisasi tradisi religi dalam kemasan komodifikasi; 8) merebaknya gaya hidup westernisasi bertendensi individualistik, konsumtif dan hedonistik; 9) memudarnya aura taksu Bali sebagai pulau suci (sakral), pulau kahyangan, pulau dewata, dst.
Patut diingat dan mesti diakui, penyebab timbulnya dampak negatif yang mengarah destruktif (merusak) juga berasal dari krama Bali sendiri. Terutama oleh sikap permissif dan pragmatis yang hanya berpikir
capaian kepentingan ekonomis dalam bentuk keuntungan material finansial. Semisal dengan mudah menjual tanah yang sebenarnya berkah ibu pertiwi sebagai lahan kehidupan abadi.
Dalam wujudnya berupa sawah (pertanian padi) adalah sthana Dewi Sri yang kini sudah banyak berubah menjadi hunian para “resi-den”. Imbasnya keberadaan Subak pun sebagai lembaga sosio-agraris pengatur pengairan, pelan tapi pasti semakin terdesak, lanjut terdepak.
Bermunculan kemudian berbagai bentuk sarana prasarana untuk mengakomodasi dan memfasilitasi kepentingan dunia pariwisata. Segala potensi Bali terus dieksplorasi dan dieksploitasi, mulai dari modal natural (keindahan alam, gunung, hutan, tebing/jurang, sawah, subak, danau, sungai, laut, Pantai, dll); modal sosial (desa adat dengan kekayaan tradisi, keunikan budaya dan seni, serta aktivitas religi (pura, ritual) semuanya dikemas lalu dijual demi raihan modal kapital seiring makin merasuknya paham moneyteistik– keuangan yang maha kuasa. Mindset yang menempatkan uang (kekayaan) sebagai sumbu perputaran ekonomi dengan menjadikan industri pariwisata sebagai roda penggerak.
Kendatipun kini tak dapat dimungkiri cenderung semakin merusak. Merusak tatanan alam (lestari vs eksploitasi), mendistorsi tataran keyakinan agama (bhakti vs bati), mendekonstruksi tuntunan nilai susila (etis vs pragmatis) dan akhirnya mendegradasi ketakson Bali (sakral vs profan). Jika kondisi bertendensi merusak itu terus bergerak on the way, berjalan dan berkembang sedemikian rupa dan tidak lagi on the track (sesuai aturan/ketentuan), maka tinggal menunggu waktu saja geliat pariwisata Bali akan memasuki masa sandhyakalaning –on the stop, berhenti pada titik nadir.
Semula dianggap sebagai pengantar kemakmuran bagi kramanya, justru berbalik menjadi peyebab kehancuran tatanan luhur keajegan gumi Bali.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar