DENPASAR, BALIPOST. com – Kebangkitan pariwisata Bali pasca pandemi Covid-19 patut disyukuri. Namun di sisi lain, masifnya perkembangan parwisata tersebut telah berdampak pada alih fungsi lahan. Setiap tahun lahan pertanian terutama sawah terus mengalami penyempitan karena digunakan untuk pembangunan akomodasi pariwisata. Atas kondisi tersebut, usulan moratorium akomodasi pariwisata selama 1 – 2 tahun pun dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali. Tujuannya untuk menata ulang tata kelola pariwisata Bali yang berbasis budaya.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra mensyukuri pariwisata Bali telah mengalami recovery pasca pandemi Covid-19. Namun, di sisi lain ada kekhawatiran bahwa sawah-sawah produktif di Bali dialih fungsikan untuk pembangunan sarana prasarana, akomodasi, termasuk sektor jasa pariwisata. Kondisi ini membutuhkan upaya bersama untuk melakukan pengendalian. Di satu sisi pariwisata harus dijaga pertumbuhan dan momentumnya, di sisi lain sektor pertanian juga harus dijaga. Termasuk lahan sawah untuk memjaga produksi pangan yang maksimal.
“Maka dari itu, berdasarkan analisis situasi ini, untuk bisa kita menata kembali ruang-ruang dan sawah yang masih kita miliki, ruang mana harus kita pertahankan, ruang mana yang bisa untuk pengembangan sektor pariwisata, maka tentu kita membutuhkan jeda waktu. Karena kalau semuanya jalan terus maka tidak ada waktu untuk menata. Jeda waktu untuk melakukan pemetaan ulang atau inventarisasi ulang ini, yang bahasa kerennya moratorium,” ujar Dewa Indra, Rabu (11/9).
Dewa Indra menjelaskan bahwa dalam moratorium ini dilakukan pemetaan, sawah mana yang masih sisa dan bagaimana kondisinya. Untuk bisa mengetahuinya diperlukan waktu jeda untuk bisa menatanya. Setelah terpetakan dengan baik, dan sudah ditetapkan zona mana yang bisa dibangun, dan zona mana untuk konservasi, maka setelah itu pembangunan bisa dilanjutkan.
Dewa Indra tidak memungkiri bahwa pembangunan termasuk pembangunan akomodasi pariwisata di Bali adalah sebuah keniscayaan, karena untuk kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam pembangunannya harus tetap mempertahankan ruang-ruang yang penting, terutama lahan persawahan.
“Tidak bisa kita stop, tidak bisa kita hentikan, tidak bisa kita tolak, karena pembangunan itu adalah keniscayaan yang harus kita lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tetapi mempertahankan sawah, mempertahankan ruang-ruang yang penting juga sebuah keniscayaan, maka mencari titik temu ini kita berharap kerja sama jeda waktu untuk melakukan itu,” tegasnya.
Dewa Indra mengungkapkan bahwa usulan moratorium ini masih dalam proses pembahasan yang dipimpin langsung Menko Marves dengan melibatkan kementerian terkait dan pemerintah daerah. Hasil dari pembahasan ini nantinya akan di bawa dalam rapat terbatas kementerian terkait. “Saat ini sedang digodok kebijakannya oleh Kementerian Menko Marves, apakah nanti akan dituangkan dalam bentuk instruksi presiden (Inpres) atau yang lainnya,” ujarnya.
Soal dampak moratorium ini terhadap perekonomian masyarakat Bali yang bergantung pada sektor pariwisata, Dewa Indra kembali menegaskan bahwa tujuannya untuk menata pariwisata Bali agar lebih baik ke depannya dan tidak mengganggu lahan pertanian produktif. Apalagi, setelah moratorium pembangunan akomodasi pariwisata akan dilanjutkan. Sedangkan, bagi yang telah membangun dan mengantongi ijin dipersilakan untuk melajutkan pembangunannya.
“Kalau yang sudah berjalan bagaimana bisa kita stop, dia pasti sudah mengantongi perijinan. Maka nanti di dalam kebijakan jeda waktu itu ada tenggat waktu yang disepakati, kapan mulai kapan berakhir,” ungkapnya.
Terkait kekhawatiran ijin yang diambil alih oleh Pemerintah Pusat, Dewa Indra mengatakan bahwa hal itu baru hanya sebatas wacana. “Yang masih meragukan adalah apakah benar ini moratoriumnya?, kapan mulai?, siapa yang membuat?, kemudian dengan moratorium ini apakah perijinan akan dibuat oleh pusat?. Kalau dibuat oleh pusat nanti malah semakin semakin tidak terkendali?, kan itu yang masih menjadi pandangan fesimistik?, gak apa-apa, kami catat semua apa yang menjadi keraguan para stakeholders itu kami catat. Dukungannya kami catat, kekhawatiran juga kami catat, nanti kita bahas lanjutannya. Seperti misalnya perijinan akan ditarik ke pusat, itu kan baru wacana belum ditetapkan, mengapa? Supaya bisa dikendalikan. Lalu ada yang bependapat, kalau ditarik ke pusat nanti malah semakin amburadul, bagaimana mereka bisa mengawasi?,” gak apa-apa bagus pendapatnya, kita catat,” pungkasnya. (Ketut Winata/Balipost)