Anggota Tisira melakukan pendataan hewan penular rabies (HPR) milik warga di Desa Mayong, Kabupaten Buleleng, Bali. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Di seluruh Bali, pendekatan multihelix telah diadopsi untuk mengatasi masalah rabies, dan salah satu desa yang berhasil menerapkan strategi ini adalah Desa Mayong. Pembentukan Tim Siaga Rabies di Mayong, di Bali dikenal sebagai Tisira, merupakan contoh prakarsa yang digerakkan oleh masyarakat dapat berkembang menjadi program yang terstruktur dan didanai dengan baik.

Kepala Desa Mayong, Made Astawa, mengatakan bahwa ide pembentukan Tisira berawal ketika Kabupaten Buleleng, lokasi Desa Mayong, ditetapkan sebagai zona merah penyakit rabies. Menyikapi hal tersebut, masyarakat Mayong yang dipimpin oleh tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya berinisiatif untuk membentuk Tisira melalui upaya masyarakat.

Inisiatif akar rumput ini dimulai sejak Januari 2022, dan setelah melalui berbagai proses, termasuk penyusunan payung hukum, Tisira resmi diluncurkan pada Juli di tahun yang sama.

Astawa mengenang tantangan yang mereka hadapi di tahap awal, terutama karena Tisira pada awalnya dikelola secara sukarela. Dorongan utama adalah keinginan untuk berkontribusi dalam memerangi rabies, terutama karena penyakit ini sedang meningkat di Buleleng.

“Karena Buleleng termasuk zona merah rabies, maka kami berinisiatif melakukan sensus hewan penular rabies (HPR). Fokus kami adalah pencegahan. Pelaku utamanya adalah kepala daerah di tingkat paling bawah, yang dibekali formulir sederhana dari desa untuk mencatat HPR berdasarkan nama dan alamat,” jelas Astawa saat dihubungi belum lama ini.

Baca juga:  Vaksinasi HPR Terus Digencarkan

Pemerintah daerah, khususnya Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng pun bergerak cepat dengan melakukan vaksinasi massal di Mayong, pascasensus.

Astawa kemudian menjelaskan, setelah berembuk dengan para pemangku kepentingan di Mayong, yakni pemerintah daerah, TNI, Polri, PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), dan warga masyarakat, Pemerintah Kabupaten Buleleng berkolaborasi dengan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) menginisiasi Tisira untuk menanggulangi masalah rabies di desa tersebut. “Tim AIHSP turun langsung ke desa. Dalam diskusi awal, muncul harapan agar Tisira dapat dibentuk, menjadikan Mayong sebagai pilot project di Kabupaten Buleleng,” jelasnya.

Hasilnya, Tisira resmi dibentuk melalui Peraturan Desa Mayong Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengendalian Rabies. Peraturan ini juga mengadopsi peraturan desa adat yang disahkan pada tahun 2021.

Astawa mengatakan bahwa ini merupakan bentuk kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyakit rabies, khususnya penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya. “Dari situ, kami mengajak masyarakat untuk terlibat langsung dalam upaya pengendalian penyakit rabies,” tegasnya.

Sejak dibentuknya Tisira, Astawa menyebutkan dua target utama: pendataan hewan pembawa rabies (HPR) di Desa Mayong dan penyediaan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat tentang pencegahan dan penanggulangan rabies. Dalam dua tahun terakhir, ia memperhatikan adanya perubahan signifikan dalam pendekatan masyarakat terhadap penanggulangan rabies dan penggunaan data HPR untuk upaya vaksinasi.

Baca juga:  Kasus Pembunuhan Taruna STIP Asal Bali, Polisi Sudah Periksa 36 Saksi

“Perilaku masyarakat sudah berubah secara signifikan. Awalnya, banyaknya korban meninggal di Buleleng yang tidak terlaporkan. Karena minimnya pelaporan, maka tidak ada tindakan. Selain itu, dari sisi komunikasi dan informasi, masyarakat juga memiliki keterbatasan akses. Mereka tidak tahu harus ke mana dan apa yang harus dilakukan ketika ada korban gigitan. Kami melihat ada perbaikan yang signifikan di wilayah ini,” ujar Astawa.

Berkat advokasi yang didukung oleh AIHSP, program Tisira di Desa Mayong kini didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dengan penganggaran dimulai tahun 2023. Astawa berkomitmen, selama menjabat hingga tahun 2029, pendanaan untuk TISIRA akan terus berlanjut, sejalan dengan tujuan Pemerintah Provinsi Bali untuk bebas rabies pada tahun 2030.

Astawa mengatakan, keberlangsungan TISIRA yang kini telah menginjak tahun ketiga, tak lepas dari kerja keras anggotanya dalam melaksanakan KIE bagi masyarakat.

Salah satu anggota Tisira, Ni Luh Widarmi, menyebutkan bahwa mengedukasi masyarakat bukanlah tugas yang mudah. ​​Tisira secara rutin menyelenggarakan sesi KIE dan mengumpulkan data HPR untuk memastikan pengendalian rabies yang terpadu dan efektif.

Widarmi, yang menyandang gelar Sarjana Kebidanan ini, mengatakan bahwa ia mengalami tantangan dan keberhasilan selama bergabung dengan Tisira. Namun, sebagai seorang ibu dari dua orang anak, ia terkesan dengan meningkatnya kesadaran di Desa Mayong, di mana masyarakat kini lebih terlibat dalam upaya pengendalian rabies.

Baca juga:  Kegigihan Gubernur Koster Diapresiasi PHRI Badung

Zona Merah Rabies di Bali

Perlu diketahui bahwa Bali tergolong daerah berisiko tinggi terhadap rabies, dengan beberapa zona merah yang teridentifikasi. Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali, hingga 23 November 2023 terdapat 62.672 kasus gigitan yang dilaporkan pada tahun tersebut.

Meskipun tidak semua kasus gigitan tersebut melibatkan hewan yang dipastikan mengidap rabies, namun jumlahnya hampir dua kali lipat dari jumlah kasus pada 2022 yang tercatat 38.524 kasus gigitan.

Peningkatan jumlah laporan menunjukkan efektivitas kampanye KIE di seluruh Bali, termasuk melalui Tisira yang telah didirikan di lebih dari 400 desa hingga saat ini. Hal ini telah membantu meningkatkan kesadaran pada masyarakat tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi gigitan, termasuk melaporkan kejadian tersebut.

Melalui program AIHSP, upaya pengendalian rabies terus difokuskan pada tiga kabupaten: Buleleng, Karangasem, dan Jembrana, yang masing-masing telah mengalokasikan anggaran untuk mendukung pengendalian rabies.

Hingga Desember 2023, data AIHSP menunjukkan bahwa 166 desa di ketiga kabupaten tersebut telah berkomitmen untuk mendukung keberlanjutan kegiatan TISIRA dengan mengalokasikan dana melalui perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tahun 2023 dan tahun anggaran 2024. Secara khusus, ada 89 desa di Kabupaten Buleleng, 65 di Kabupaten Karangasem, dan 12 di Kabupaten Jembrana. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *