Oleh I Gusti Ketut Widana
Seringkali timbul pertanyaan, mengapa disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali, seperti nama moda transportasi bus jurusan Jawa-Bali saja. Dibaca sekilas memang demikian kesan awalnya. Namun jika ditelisik, setidaknya ada beberapa tafsiran.
Pertama, secara historis dengan merujuk lontar Purana Bali Dwipa, berkaitan dengan: “Pemasukan pajak hasil bumi dari luar pulau Bali yakni Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan, yang di bawah kekuasaan baginda raja di Bali, diupacarakan pada Wrespati Wage wuku Sungsang saat Sugihan Jawa. Sementara bagi penduduk Bali asli, upacara dilaksanakan pada Sukra Kliwon wuku Sungsang saat Sugihan Bali…”. Kedua, secara sosiologis, dikaitkan dengan pelaku yadnya, jika Sugihan Jawa, dilaksanakan umat Hindu keturunan wong Majapahit, yang sekarang mendominasi jumlah penduduk Bali. Sedangkan Sugihan Bali, dilakukan umat Hindu keturunan wong Bali Mula atau Bali Aga, penduduk asli sebelum ekspansi Majapahit ke Bali.
Ketiga, secara etimologis, tafsiran terhadap kata “Jawa” dan “Bali” yang melekat pada hari Sugihan, tidak terkait dengan posisi geografis atau latar belakang etnis (suku). Kata “Jawa” secara fonetik sesuai hukum ‘varga’: p, b, m, w, bisa berubah menjadi “Jaba” yang artinya ‘luar’. Sehingga jika ada kata “di/ke jaba” berarti “di/ke luar”. Contoh pembanding, kata “puja” menjadi “muja”, “bukti” menjadi “mukti”. Begitupun kata “Bali” berubah menjadi “Wali”, bisa berarti ‘upacara (yadnya)’, atau ‘kembali’ (mawali) – kedalam.
Senada dengan itu, seperti menjadi kelaziman berbahasa di kalangan masyarakat Bali tempo dulu, kata “Jawa” pun lumrah digunakan untuk menyebut sesuatu yang berasal dari atau berada di “luar” Bali. Misal, ketika mengatakan seseorang “di/ke Jawa”, maka yang dimaksud adalah orang tersebut sedang berada di/ke luar Bali. Padahal mungkin saja yang bersangkutan pergi atau berada di Kalimantan, Sulawesi, dan pulau lainnya. Persis seperti orang Betawi memaknai ucapan “ke/di Jawa” bagi mereka yang pergi ke/di-luar Jakarta, tetapi masih dalam lingkup pulau Jawa.
Keempat, ini penting dipahami yaitu tafsiran dari sisi teologis dan filosofis. Secara teologis, hari suci Sugihan Jawa-Bali merupakan momentum umat melakukan pemujaan kepada Hyang Widhi selaku Pencipta Dunia (bhuwana agung), termasuk manusia sebagai bagian dari bhuwana alit. Sehingga secara filosofis, menjadi kewajiban umat Hindu saat Sugihan Jawa-Bali melakukan introspeksi, apakah selama ini sudah melakukan kewajiban memelihara/merawat alam beserta segenap sumber daya hayatinya. Atau sebaliknya lebih sering mengeksploitasi demi kepentingan praktis, pragmatis berorientasi ekonomis.
Jika pernyataan terakhir benar, maka masuk akal secara faktual keadaan alam Bali semakin krisis, bahkan menuju kondisi kritis. Terlebih dalam konteks daya dukung alam terhadap pemenuhan kebutuhan material ritual yadnya, yang sangat tergantung pasokan dari luar Bali. Mulai dari janur (busung), bunga, buah, kelapa, beras, termasuk unggas (ayam, bebek), telur dan kebutuhan sembako lainnya. Realita ini menjadi paradoks ketika dikaitkan dengan makna luhur ritual yadnya yang secara konseptual bertujuan mengharmoniskan alam, namun kenyataannya justru sumber daya dukung alam Bali cenderung semakin kritis, bisa jadi akan habis.
Sebaliknya bagi pemasok dari luar Bali, termasuk kaum pendatang penyedia berbagai kebutuhan krama Bali, di antaranya dari Jawa, menjadi peluang bisnis penghasil pipis (keuntungan). Lantaran orang Bali rata-rata diketahui lebih fanatik membeli dan mengonsumsi produk/barang atau hasil olahan orang luar, seperti beras, telur, tahu, tempe, gorengan, pecel lele, bakso, hingga keperluan yadnya, termasuk canang pun mereka jual dan dibeli nyama Bali.
Tidak keliru jika kemudian dikatakan, berkat aktivitas ritual yadnya yang begitu tinggi frekuensinya, dan atas usaha ulet para pendatang sebagai pemasok kebutuhan semeton Bali menjadikan mereka “Sugihan Anak Jawa”. Sampai muncul ungkapan satir: anak Jawa ngadep bakso meli tanah, nak Bali ngadep tanah meli bakso.
Sebuah ironi yang menggambarkan betapa krama Bali (Hindu) belum mampu menransformasi simbol dan makna ritual yang begitu ideal secara konseptual namun secara kontekstual terpental lantaran tidak disertai tindakan konkret bagi usaha pemeliharaan dan pelestarian sumber daya alam Bali yang semestinya dapat memenuhi segala kebutuhan dasar, termasuk keperluan yadnya. Sudah saatnya melalui ritual suci, tak terkecuali Sugihan Jawa-Bali, umat Hindu dapat “Nyugihang nak Bali”, tidak lagi “Nyugihang anak Jawa”.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar