Tangkapan layar Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Pandu Riono (kanan) bersama juru bicara bahasa isyarat (kiri) dalam webinar Urgensi Percepatan Vaksinasi Kelompok Rentan, Antisipasi Gelombang Ketiga COVID-19 yang diikuti di Jakarta, Rabu (13/11). (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Hari Bahasa Isyarat Internasional atau International Day of Sign Languages diperingati setiap 23 September. Majelis Umum PBB  telah menetapkan Hari Bahasa Isyarat Internasional untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya bahasa isyarat dalam perwujudan penuh hak asasi manusia bagi para penyandang tuna rungu.

Hari ini merupakan kesempatan unik untuk mendukung dan melindungi identitas linguistik dan keragaman budaya komunitas tuna rungu dan pengguna bahasa isyarat lainnya.

Bahasa isyarat merupakan bentuk komunikasi visual yang menggunakan gerakan tangan, bahasa tubuh, dan ekspresi wajah untuk menyampaikan pesan. Menurut Federasi Tuna Rungu Dunia, terdapat lebih dari 70 juta orang tuna rungu di seluruh dunia.

Lebih dari 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Secara kolektif, mereka menggunakan lebih dari 300 bahasa isyarat yang berbeda. Yuk, simak sejarah ditetapkannya 23 September sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional.

Baca juga:  PPB Kecam Serangan Israel ke Pusat UNRWA di Gaza

Mengutip dari situs resmi UNESCO, Hari Bahasa Isyarat Internasional diusul oleh World Federation of the Deaf sebuah federasi yang terdiri dari 135 asosiasi nasional tuna rungu, yang mewakili sekitar 70 juta hak asasi manusia tuna rungu di seluruh dunia.

Resolusi A/RES/72/161 disponsori oleh Misi Tetap Antigua dan Barbuda untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang disponsori bersama oleh 97 Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diadopsi secara konsensus pada tanggal 19 Desember 2017.

Dipilihnya tanggal 23 September sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional sesuai dengan peringatan hari didirikannya WFD pada tahun 1951. Hari ini menandai lahirnya sebuah organisasi advokasi yang salah satu tujuan utamanya adalah melestarikan bahasa isyarat dan budaya Tuna Rungu sebagai prasyarat terwujudnya hak asasi manusia bagi para tuna rungu.

Hari Bahasa Isyarat Internasional pertama kali dirayakan pada 2018 sebagai bagian dari Pekan  Tunarungu Internasional. Pekan Tunarungu Internasional sebenarnya sudah sejak September 1958 digelar. Sejak itu berkembang menjadi gerakan solidaritas Tunarungu dan advokasi kolektif di seluruh dunia untuk meningkatkan kesadaran akan permasalahan yang dihadapi oleh para Tunarungu dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga:  Kasus Landak Jawa, Hakim Kabulkan Tuntutan JPU

Hak Bahasa Isyarat

Mengutip informasi dari situs resmi WFD, pada Hari Bahasa Isyarat Internasional 2024 ini, dunia akan ikut serta dalam hak bahasa isyarat. Komunitas tuna rungu, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil terus berupaya bersama-sama untuk membina, mempromosikan, dan mengakui bahasa isyarat nasional sebagai bagian dari lanskap linguistik yang dinamis dan beragam di negara mereka.

Para pemimpin dunia dan pejabat pemerintah diundang untuk menandatangani tema Hari Bahasa Isyarat Internasional, yaitu Sign Up for Sign Language Rights.

Selain itu, WFD kembali mengadakan Global Leader Challenges setelah sukses menyelenggarakannya selama tiga tahun berturut-turut.

Baca juga:  WBT Antarkan Ibunda ke Peristirahatan Terakhir

Para pemimpin dunia diharuskan melakukan bahasa isyarat “Sebuah Dunia di Mana Orang Tunarungu di Mana Saja Dapat Menggunakan Bahasa Isyarat di Mana Saja!” menggunakan bahasa isyarat Nasional mereka.

Pada perayaan Hari Bahasa Isyarat Internasional 2024, biru kembali dipilih menjadi warna utama yang digunakan. Setelah keberhasilan Shine a blue light on Sign Languages ​​pada tahun 2022 dan 2023, WFD melanjutkan Blue Light for Sign Languages ​​tahun ini, yang bertujuan untuk menyoroti persatuan yang dibawa oleh pengalaman bersama bahasa isyarat nasional.

Acara ini bertujuan untuk menyatukan dunia, warga negara, komunitas, dan masyarakat melalui cahaya biru. Biru telah digunakan oleh WFD sejak didirikan pada 1951, dan pita biru telah digunakan selama berabad-abad untuk melambangkan upaya komunitas Tunarungu untuk mencapai kesetaraan dalam masyarakat dan pengakuan terhadap bahasa isyarat nasional. (Cahya Dwipayanti/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *