Oleh I Gusti Ketut Widana
Saat hari suci Galungan September 2024 ini bertepatan dengan jadwal awal kampanye terkait pesta demokrasi
Pilkada serentak. Meski atas arahan KPU Bali tidak akan digunakan paslon berkampanye yang memang kental aroma politik kepentingan, sekaligus berpotensi menciderai nuansa sakral ritual suci Galungan.
Mengingat rerainan Galungan yang dikenal juga sebagai hari “otonan gumi/pawedalan jagat”, merupakan momen umat Hindu “ngaturang suksmaning manah” kehadapan Hyang Widhi yang telah memberikan berkah anugrah melimpah dan berharap dijauhkan dari masalah serta musibah.
Apalagi saat ini sering disebut era zaman Kali dengan penciri merebaknya fenomena “mamenjor”, trend perilaku “nungkalik” (berlawanan), bukannya menegakkan, malah “negakin” (menduduki) dharma (kebenaran). Dharma cenderung tidak lagi dijadikan pedoman/penuntun kehidupan, terlebih saat pesta demokrasi (Pilkada) yang seringkali bermetamorfosis menjadi ‘democrazy’, sebagaimana tersurat dalam
Kakawin Niti Sastra IV, 9-10 : “Karena pengaruh zaman Kali manusia menjadi kegila-gilaan, suka berkelahi, berebut kedudukan yang tinggi-tinggi. Mereka tidak mengenal dunianya sendiri, bergumul melawan saudara-saudaranya. Kutuk tak berarti lagi, hak istimewa tidak berlaku; semua itu karena perbuatan orang-orang ang-
kara murka, tingkah laku hina dianggap utama, kebodohan dinamakan kebijaksanaan, orang yang rendah budinya disebut mulia, sungguh suatu anggapan yang aneh, dan orang-orang yang seharusnya berperilaku benar/baik justru bertindak salah”.
Ciri zaman Kali di atas begitu tepat menggambarkan tingkah laku para pihak yang terlibat langsung-tidak langsung, entah itu pengusung atau pendukung dalam ajang kontestasi politik yang harus diakui melahirkan polarisasi– keterbelahan bahkan perpecahan. Dari yang
sekadar berbentuk polemik hingga meningkat eskalasinya mengarah konflik, lantaran semua kompetitor terobsesi memenangkan paslonnya.
Sehingga dalam kesempatan kampanye, bukannya menyuarakan Dharma, melainkan menggemakan Adharma, melalui pernyataan (statemen) bernada pembenaran. Semisal menyatakan paslonnya paling baik/benar, hebat, unggul atau paling berjuang membela kepentingan rakyat, meski kenyataannya benar-benar
‘paling’, kontradiktif antara janji dengan reality.
Bahkan demi sebuah kemenangan, tak jarang
menerapkan srategi menjatuhkan reputasi lawan, atau mengunakan taktik mengungkit plus membongkar aib
(keburukan) pesaing, walau mungkin faktanya memang demikian. Intinya, sebagaimana dikatakan Niccolo Machiavelli (pentolan paham absoljutisme), bahwa “tujuan itu mensucikan segala tindakan”. Maksudnya, apapun caranya termasuk lewat jalur adharma, yang penting tujuan memenangkan paslon dapat tercapai.
Sehingga adagium vox populi vox dei, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, nyaris tidak begitu didengar, yang terdengar lantang dan berkepanjangan saat kampanye justru suara pembenaran demi meraih kemenangan. Lanjut mendapat kedudukan, memiliki kekuasaan dan kewenangan, yang acapkali dijalankan dengan sewenang-wenang.
Spirit Galungan : satyam eva jayate pun bisa jadi berubah, alih-alih kebenaran (dharma) yang berjaya (menang), tetapi dalih-dalih pembenaran (adharma) yang kian berkibar bahkan berkobar menyemangati perjuangan setiap konstestan untuk menyisihkan lawan
guna memenangkan kompetisi dalam ajang kontestasi demokrasi lewat Pilkada.
Bagi krama Bali, terkhusus para paslon yang notabene umat Hindu, akan lebih bijak sekali bila moment hari suci Galungan kali ini dijadikan kesempatan memulai langkah awal perjuangan, tepatnya perebutan kursi pemimpin tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi, dengan lebih intens mengkampanyekan dharma.
Tentunya melalui janji kampanye yang tetap konsisten berkomitmen meng-ajeg-kan Bali dengan nilai-nilai kearifan lokal sebagai penyangga sekaligus penguat entitas dan identitas sosial, adat, dan budaya yang dijiwai ajaran Hindu.
Sangat tidak simpatik dan pastinya memantik kritik jika mengkampanyekan program lewat janji manis yang justru “manesin”, bertendensi menggoyahkan bahkan meruntuhkan kesucian, kesakralan dan ke-taksu-an Bali sebagai pulau Kahyangan, pulau Seribu Pura, atau Pulau Dewata. Diantaranya mengumbar janji mensuport (membackup) entitas dan identitas nonBali (Hindu) secara vulgar, semisal akan mendirikan pondok pesantren ketimbang memperbanyak plus menguatkan keberadaan pasraman di seantero Bali yang masih sangat jauh dari perhatian.
Penulis, Dosen Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar