DENPASAR, BALIPOST.com – Hari Raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu Bali setiap 210 hari sekali, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali yaitu pada Budha Kliwon Dungulan ( Rabu Kliwon Wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Makan dari Galungan juga terdapat dalam lontar Sunarigama yang dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Dapat disimpulkan bahwa Galungan adalah memadukan kekuatan spiritual untuk mencapai kejernihan pikiran dan sikap. Kesatuan spiritual dan kejernihan pikiran ini merupakan perwujudan dharma dalam diri seseorang. Sebaliknya, segala kebingungan pikiran (byaparaning idep) adalah salah satu bentuk adharma. Dari konsep Lontar Sunarigama dapat disimpulkan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan kemenangan Dharma atas Adharma.
Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Bukan berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan terima kasihnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia beserta segala isinya.
Pada hari itulah umat bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.
Dalam perayaan Galungan, ada beberapa aktivitas yang biasa dilakukan oleh umat Hindu Bali. Dilansir dari website Pemkab Buleleng, pada pagi hari, para umat sudah memulai upacara untuk Galungan ini. Dimulai dari persembahyangan di Merajan masing-masing, lalu dilanjutkan dengan persembahyangan di Pura Kahyangan Tiga yang ada di Desa.
Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang masih bersetatus Mekingsan di Pertiwi (mependem/dikubur) maka umat tersebut wajib membawakan banten ke kuburan dengan istilah Mamunjung ke Setra, banten tersebut terdiri dari punjung disertai tigasan/kain saperadeg (seadanya) dan air kumkuman (air bunga).
Selain itu, ada juga Tradisi yang kerap dijumpai pada galungan yaitu “Pulang Kampung”, dimana umat yang berasal dari daerah lain, seperti dalam perantauan akan menyempatkan diri untuk sembahyang ke Daerah kelahiran masing-masing. Selain sembahyang, Berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga juga dilakukan untuk mengobati rindu ketika jauh dari tanah kelahiran. (Cahya Dwipayanti/balipost)