Tangkapan layar Peneliti dari Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heryana dalam diskusi di Jakarta, Jumat (27/9/2024). (BP/Ant)

JAKARTA, BALIPOST.com – Ilmu astronomi telah dipahami oleh masyarakat suku Sunda sejak zaman dahulu. Demikian diungkapkan peneliti dari Pusat Riset Manuskrip, Literatur dan Tradisi Lisan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Agus Heryana.

Hal tersebut dibuktikan dengan adanya manuskrip Sunda yang mewartakan keberadaan benda-benda langit dalam bentuk aplikatif dan spiritual, di mana matahari, bulan, bintang, awan, dan langit seringkali menjadi penunjuk arah, baik tempat maupun waktu, serta sistem penanggalan yang dimanfaatkan untuk menentukan sebuah pekerjaan atau peruntungan, khususnya pada naskah Paririmbon.

“Dalam pandangan spiritual, keberadaan benda-benda langit digunakan untuk mengekspresikan perjalanan ruh atau atman manusia dalam mencapai kebahagiaan tertinggi dengan Tuhan-nya. Hubungan manusia dengan Tuhan dijalin melalui ciptaan-Nya, yakni alam semesta,” kata Agus dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, seperti dikutip dari kantor berita Antara, Jumat (27/9).

Baca juga:  Perubahan Iklim Picu Cuaca Ekstrem di Indonesia

Agus memaparkan, manuskrip Sunda bisa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu agama, bahasa, hukum/aturan, kemasyarakatan, mitologi, pendidikan, pengetahuan, primbon, sastra, sastra sejarah, sejarah, dan seni.

Berkaitan dengan tema astronomi dalam manuskrip, jelas dia, hingga kini belum ada penelitian yang berhasil mendapatkan manuskrip yang membahas secara penuh dan khusus mengenainya.

“Bahasannya cenderung tersebar dalam bentuk ungkapan-ungkapan metafora atau majas, perbandingan untuk menjelaskan tentang sesuatu hal,” terangnya.

Baca juga:  Cermat Temukan Tanda SNI

Dalam manuskrip Sunda, kata Agus, telah dilakukan penelusuran hal-hal baru terkait pengetahuan astronomi. Manuskrip tersebut ditulis pra-Islam sekitar abad 14-15 yang dilanjutkan dengan masa-Islam.

Ia menyebut, ada tiga manuskrip pra-Islam yang terpilih, yaitu: Siksakanda Karesian, Sewaka Darma, dan Bujanggamanik. Sedangkan naskah masa-Islam adalah Wawacan Pandita Sawang, Paririmbon, dan Gandasari, di mana Paririmbon merupakan naskah pengetahuan lokal masyarakat Sunda.

Masyarakat Sunda, kata Agus, juga mencatat nama-nama benda langit seperti panonpoe (matahari), bulan, béntang (bintang), langit, katumbiri (pelangi), mega (awan), akasa/awang-awang (angkasa), awun-awun (awan paling atas), alak paul (langit tertinggi), teja (sinar), kilat, guludug (petir), gelap, dan kingkilaban (kilat di malam hari).

Baca juga:  Empat Provinsi Tak Bisa Saksikan Puncak Gerhana Total

Ia menjelaskan, keseluruh benda langit yang secara jelas terlihat dengan mata telanjang tersebut posisinya berada di atas, maka untuk melihatnya diperlukan gerakan kepala ke atas dengan cara mendongakkan kepala.

“Posisi benda-benda langit yang berada di atas dalam manuskrip digunakan untuk menempatkan makhluk-makhluk yang dianggap suci. Langit merupakan representasi ketinggian dan kesucian yang tak terjangkau,” ungkap Agus. (Kmb/Balipost)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *