Oleh A.A Ketut Jelantik, M.Pd.
Salah satu dari program prioritas Kemendikbudristek yang masih sangat relevan untuk dijadikan bahan diskusi di ruang publik dan sekaligus didorong untuk dijaga keberlangsungannya adalah program digitalisasi pendidikan.
Program ini secara khusus bertujuan untuk meningkatkan akses dan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui pengunaan teknologi informasi para siswa di seluruh wilayah Indonesia termasuk anak-anak di kawasan Terluar, Terdalam, Tertinggal (3T) mampu mengakses sumber belajar yang berkualitas. Guru-guru dipermudah dalam upaya peningkatan kompetensi
professional maupun pedagogiknya hanya dengan
menggunakan berbagai flatform berbasis digital, seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM).
Tata kelola keuangan sekolah mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, hingga pelaporan dapat dilakukan secara transparan dengan bantuan aplikasi (Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPlah), Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (Arkas) dan sebagainya. Secara umum, digitalisasi pendidikan merupakan strategi pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya tiga kecenderungan perubahan budaya masyarakat pada era revolusi industri 4.0 yakni masyarakat padat pengeta-
huan (knowledge society) masyarakat informasi
(information society) serta masyarakat jaringan
(networking society).
Masyarakat padat pengetahuan (knowledge society) ditandai dengan makin dominannya peran sains dan tehnologi dalam kehidupan masyarakat. Hal-hal yang sebelumnya dilakukan secara konvensional, mau tidak mau suka tidak suka tergantikan dengan bantuan teknologi.
Guru dipaksa untuk mengikuti alur tersebut. Ya, teknologi, secanggih apapun, tidak akan mampu
menggantikan peran guru. Namun tehnologi akan membantu guru untuk mengakselerasi konstruksi baru yang harus diterima dan dipahami siswa dengan lebih cepat, efektif dan efesien dan terkadang di luar jangkauan pikir manusia.
Masyarakat informasi (information society) telah mengubah paradigma masyarakat tentang implikasi dan dampak persebaran informasi dalam berbagai bentuk. Informasi berbasis teknologi digital saat ini telah mendominasi arus lalu lintas komunikasi baik dalam perspektif personal, nasional bahkan global.
Kondisi ini mengubah paradigma dan cara berpikir dan bertindak masyarakat termasuk diantaranya masyarakat pendidikan seperti kepala sekolah, guru maupun tenaga kependidikan lainnya. Saat ini masyarakat bukan saja “haus” dengan informasi terbaru atau paling up to date namun juga mereka menginginkan informasi bisa terdistribusi dengan cepat.
Di satu sisi, masifnya arus informasi yang seolah tak bisa dibendung membawa dampak negatif. Jika tidak
diantisipasi tidak menutup kemungkinan memberikan implikasi buruk bagi kehidupan manusia bahkan mungkin sebuah bangsa. Fenomena seperti ini sempat dirasakan oleh masyarakat Indonesia di 2019 lalu.
Masifnya berita hoax telah memicu polarisasi yang nyaris membelah masyarakat kita menjadi dua kutub yang saling bertentangan. Ini tentu menjadi pengalaman sangat berharga bagi kita. Polarisasi nyaris merusak fondasi kehidupan kebangsaan kita.
Tentu kita sepakat hal ini tak perlu terjadi di kemudian hari.
Masyarakat jaringan (Networking Society) menurut Manuel Castell dalam bukunya berjudul “The Rise of Networks Society” (1996) adalah masyarakat yang struktur sosialnya dibentuk oleh jaringan berbasis tehnologi informasi.
Dalam konteks ini, kemampuan warga sekolah untuk membangun jejaring melalui pemanfaatan teknologi informasi menjadi kunci utama. Dengan menguasai tehnologi informasi, guru akan mampu melakukan kolaborasi dengan rekan sejawat tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu.
Hanya mereka yang mampu membangun jaringan atau networking yang kuat yang akan mampu memerankan diri secara lebih maksimal. Bukan hanya sebagai objek, namun juga sebagai subjek. Pendek kata di era revolusi industri 4.0, pengetahuan, informasi dan jaringan akan menjadi modalitas utama yang harus dimiliki masyarakat termasuk kepala sekolah guru maupun tenaga kependidikan lainnya.
Jumlah pengguna internet di Indonesia versi kementerian informasi dan komunikasi saat ini senanyak 196,7 juta. Ini menunjukan bahwa internet merupakan salah satu kebutuhan bagi masyarakat Indonesia. Namun sayangnya, di tengah-tengah tingginya animo warga untuk menggunakan internet ternyata penyalahgunaan internet juga tinggi.
Digitalisasi pendidikan diharapkan bukan saja mampu mengantarkan kualitas pendidikan di Indonesia sejajar dengan negara lain, namun juga bagian mitigasi untuk mempersiapkan generasi masa depan yang cakap digital, melek digital serta mampu membangun jejaring mulai dari tingkat lokal hingga global. Semoga.
Penulis, Pengawas Sekolah di Dikpora Kabupaten Bangli, juga Fasilitator Sekolah Penggerak Kemendikbudristek A3