Sejumlah umat Hindu hendak melaksanakan persembahyangan di Pura Sakenan, Denpasar. (BP/Melynia Ramadhani)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kuningan merupakan bagian dari rangkaian hari suci Galungan, yang dilaksanakan tepat 10 hari setelah Hari Raya Galungan, yaitu pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, Wuku Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari marabahaya.

Dikutip dari Bhagawan Dwija makna dari Kuningan adalah mengadakan janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).

Dikutip dari berbagai sumber, banten atau sesajen pada setiap desa memiliki berbagai ragam versi yang berbeda. Tapi umumnya pada Hari Raya Kuningan digunakan sesaji yang mengandung simbol Tamiang dan Endongan.

Baca juga:  Bali Tambah Merah! Satu Kabupaten Lagi Masuk Zona Risiko Tinggi COVID-19

Arti dari Tamiang adalah lambang perlindungan sekaligus lambang perputaran roda alam yang mengingatkan manusia akan hukum alam.

Jika suatu masyarakat gagal beradaptasi dengan alam atau menaati hukum alam, masyarakat berisiko tergilas roda alam.

Oleh karena itu, melalui festival ini  diharapkan masyarakat dapat menata kembali kehidupan  harmonis (hita) sesuai  tujuan agama Hindu. Sedangkan Endongan sendiri adalah artinya perbekalan, dilansir dari Website Kemenag Kab. Jembrana.

Mengenai waktu Sembahyang di Hari Raya Kuningan, Bhagawan Dwija menjelaskan bahwa pada Hari Kuningan, Ida Sanghyang Widi Wasa akan memberkati dunia dan umat manusia mulai pukul 00 hingga 12.

Oleh karena itu, saat ini sangat tepat bagi seluruh umat Hindu untuk datang dan mempercayakan diri kita kepada Tuhan untuk mendapat perlindungan.

Baca juga:  Derita Lumpuh Otak, Gek Tirta Tak Bisa Berjalan dan Berbicara

Alasan adanya pembatasan hingga siang hari adalah karena energi Alam Semesta (Panca Maha Bhuta: pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hari dan mencapai puncaknya pada Bajeg Surya (tengah hari).

Setelah Bajeg Surya selesai disebut masa Pralina (pengembalian ke asalnya), dimana energi alam semesta berkurang, dan pada saat Sanghyang Surya mesineb (malam hari) adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).

Saat Hari Raya Kuningan, umat hindu biasanya akan membuat nasi kuning yang merupakan lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terima kasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta- terima kasihnya.

Baca juga:  Permukiman Warga di Aliran Tukad Mati Terendam

Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Sarana upacara sebagai simbul kesemarakan, kemeriahan terdiri dari berbagai macam jejahitan yang mempunyai simbolis sebagai alat-alat perang yang diperadekan seperti tamiyang kolem, ter, ending, wayang-wayang dan sejenisnya. Dilansir dari situs Kalender Bali.

Melalui perayaan ini, masyarakat juga diminta untuk selalu ingat Menyamabraya dan memperkuat persatuan dan solidaitas sosial. Selain itu, melalui Rerahinan ini, masyarakat diharapkan selalu mengingat lingkungannya agar alam semesta dan isinya tetap selaras. Tujuan dari Hari Raya Kuningan ini adalah untuk mencari kedamaian, kemakmuran, serta perlindungan dan bimbingan lahir dan batin. (Cahya Dwipayanti/bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *