I Gusti Ketut Widana. (BP/Istimewa)

Oleh I Gusti Ketut Widana

Hari suci Kuningan, masih satu rangkaian dengan rerainan Galungan. Jika Galungan secara filosofi dmaknai sebagai momen kemenangan dharma atas adharma, ritual Kuningan mengisyaratkan agar umat semakin uning (kauningin) untuk selalu eling (sadar dan waspada).

Mengingat sebagaimana digambarkan dalam lontar Sundarigama, seusai para Dewata dan Pitara turun ke bumi menerima persembahan, selepas tengah hari, Beliau akan kembali ke kahyangan (swahloka). Lalu
bagaimana “nasib” para penghuni, terkhusus manusia di muka bumi (bhurloka) “tanpa” kehadiran-Nya? Padahal kehidupan di dunia nyaris tak lepas dari bermacam tuntutan, tantangan sekaligus tentangan.

Karenanya, tetap diperlukan tuntunan dharma agar adharma tidak lagi berkuasa atas diri manusia, meskipun Galungan dan Kuningan akan dilewati. Mengacu paham phanteistik, Tuhan atau sebutan lain seperti Dewa/Dewata/Bhatara adalah “sosok”, bisa datang/hadir jika diundang (nedunang), dan kemudian “pergi” lagi bila dikembalikan (kawaliang/ngantukang).

Ketika Tuhan digambarkan/dibayangkan kembali ke kahyangan itulah umat diingatkan untuk selalu “menghadirkan” Tuhan dalam diri, agar tidak sampai kehilangan sifat-sifat ke-Tuhanannya (daiwi sampat). Terlebih pada era zaman Kali, saat dimana sarwa bhuta
kala ngrebeda membutakan hati/nurani di kala memperjuangkan keinginan/kepentingan yang sarat aura asuri sampat (hasrat keraksasaan).

Baca juga:  Ribuan Masyarakat Munggu Tumpah Ruah Ikuti Tradisi Mekotek

Pada kondisi seperti itu, seakan manusia “kehilangan” Tuhan, menjadikannya serupa dengan “hantu”, menakutkan/mengerikan dengan segala tingkah polah plus ulah yang acapkali mengundang masalah, bahkan mendatangkan musibah. Itulah sebabnya, ketika ritual Kuningan berlangsung terdapat sarana upakara spesisifik (khas) sebagai bekal simbolik yang kemudian direalisasikan dalam praktik menghadapi kehidupan yang terasa kian pelik, seiring kealpaan terhadap tuntu-
nan etik, dan semakin menjauhnya nuansa religik/spiritualistik.

Berakibat pada kian maraknya silang pendapat lewat polemik yang adakalanya mengarah pada situasi konflik. Adapun bekal simbolik dimaksud berupa piranti unik, seperti Tamiang, Ter, Endongan, dan Sampian Gantung. Tamiang, sejenis tameng/perisai, simbol pelindung diri dari segala macam gangguan, ancaman atau bahkan serangan. Ter, berbentuk anak panah, lambang ketajaman idep (pikiran) yang apabila digunakan dengan baik dan benar bisa di-adep untuk ngidupin idup (menghidupkan kehidupan).

Baca juga:  Disrupsi Digital Pertanian di Era Globalisasi

Lalu Endongan, serupa dengan tas (kompek) penanda kesiapan perbekalan kekinian (penguasaan iptek). Terakhir, Sampian Gantung sebagai penolak bala (mala)
sekala (lahir) maupun niskala (batin).

Berbekal aneka macam simbol perangkat perjuangan itu mengamanatkan kepada umat agar tiada henti menguatkan dharma dalam diri guna terus mewaspadai, menghadapi, mengalahkan, bila mungkin mengenyahkan adharma yang setiap saat mengintai dan menanti kesempatan membalikkan keadaan.

Meski pada akhirnya dharma tetap akan menang– (satyam eva jayate nanrtam). Suratan lontar Sundarigama mengingatkan: “Saniscara Kliwon Kuningan tumurun wateki dewata kabeh mwang sang Dewa Pitara, asuci laksana, pakenanya ngening-ngening
akna citta nirmala tan pegating samadhi….” (Sabtu Kliwon Kuningan, saat itu turun para Dewata dan roh-roh suci leluhur, sucikanlah perbuatan, selalu memurnikan diri, menyucikan pikiran tiada henti memusatkan pikiran pada Tuhan).

Baca juga:  Relaksasi Ekonomi Pariwisata

Intinya, hakikat ritual suci Kuningan tidak sekadar “uning” dan “eling” (tahu dan ingat) tetapi sekaligus “hening”, dengan pikiran dan hati bening (bersih-murni-suci) hendaknya umat Hindu taat pada amanat tentang
pentingnya menstanakan Tuhan dalam diri. Sebab “sepeninggal” Tuhan dalam konteks Kuningan, bukan dalam arti Tuhan meninggalkan manusia, melainkan manusialah yang diharapkan senantiasa menghadirkan Tuhan dengan merealisasikan sifat-sifat Ketuhanan
dalam diri melalui berbagai ekspresi bhakti.

Kendati tak dapat dimungkiri, dalam reality kehidupan sehari-hari, yang terjadi sebaliknya, manusialah yang cenderung meninggalkan Tuhan, termasuk menanggalkan sifat-sifat ketuhanan, berganti kian eksisnya karakter adharma melalui berbagai aksi asuri
sampat di zaman Kali yang semakin unjuk gigi sifat keraksasaannya : ego, emosi dan edan, yang tentunya menyesatkan sekaligus berpotensi menyengsarakan umat.

Penulis, Dosen Fak. Pendidikan UNHI Denpasar.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *