Djoko Subinarto. (BP/Istimewa)

Oleh Djoko Subinarto

Politik pengorbanan dapat menjadi jalan pilihan para politikus di Tanah Air kita demi memperjuangkan dan melayani kepentingan yang lebih luas, kepentingan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Nelson Mandela di Afrika Selatan dan Jose Mujica dari Uruguay memiliki sebuah kesamaan. Keduanya menjadikan politik pengorbanan sebagai pilihan.

Setelah mendekam selama 27 tahun di penjara dan kemudian bebas, Mandela justru memilih melakukan rekonsiliasi dan memberi pengampunan ketimbang membalas dendam kepada lawan-lawan politiknya. Dia bekerjasama dengan para lawan politik dan mantan penindasnya untuk bersama-sama mengakhiri era apartheid dan mendirikan Afrika Selatan yang demokratis dan inklusif. Keputusan Mandela untuk memprioritaskan persatuan nasional ketimbang kepentingan pribadinya merupakan contoh bagaimana politik pengorbanan dipraktikkan olehnya.

Sementara itu, Jose Mujica, mantan pejuang gerilya yang beralih menjadi politikus,  dan lantas menjabat sebagai Presiden Uruguay dari tahun 2010 hingga 2015, dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana dan komitmennya terhadap keadilan sosial. Mujica menyumbangkan sebagian besar gajinya untuk kepentingan sosial dan memilih tinggal di sebuah rumah sederhana ketimbang istana presiden yang mentereng. Keputusannya untuk melepaskan kemewahan pribadi dan memprioritaskan kebutuhan mereka yang kurang beruntung adalah contoh lain dari politik pengorbanan yang dipilih oleh Mujica.

Baca juga:  Mitigasi Bencana Dampak La Nina

Politik umumnya selalu berkaitan dengan hal-hal pragmatis.  Maka, para politikus umumnya cenderung lebih fokus pada pertimbangan-pertimbangan praktis dan seringkali memprioritaskan pencapaian-pencapaian jangka pendek yang sempit, sebatas melayani kepentingan pribadi dan kelompok. Contohnya, bagaimana mempertahankan kekuasaan dan jabatan. Tak lebih dari itu. Tak jarang pula demi hal-hal yang sifatnya pragmatis, politikus bersedia mengkompromikan hal-hal prinsip, sepanjang hasil yang diinginkan dapat tercapai.

Meski demikian, toh tak semua politikus akhirnya memilih jalan pragmatis. Sebagian, seperti Mandela dan Mujica, memilih hal-hal yang nonpragmatis. Mereka memilih mengadopsi politik pengorbanan, yang memprioritaskan tujuan-tujuan jangka panjang untuk melayani kepentingan yang lebih luas, dengan bersandar pada prinsip-prinsip etis, mengedepankan integritas, dan ketulusan.

Karena bersandar pada prinsip-prinsip etis, politik pengorbanan selaras pula dengan prinsip-prinsip kepemimpinan etis, di mana seorang pemimpin wajib memprioritaskan kebaikan bersama dan bertindak dengan integritas dan ketulusan. Maka, dengan menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai etis, politikus yang memilih jalan politik pengorbanan dapat lebih mampu membangun kepercayaan dan legitimasi di kalangan khalayak.

Politik pengorbanan sendiri bukanlah sesuatu yang secara otomatis ada alias taken for granted dalam sebuah sistem politik. Ia mesti diciptakan dan dibangun melalui tindakan dan pilihan yang disengaja oleh para pemimpin politik, institusi politik, dan masyarakat secara keseluruhan.

Baca juga:  Bendera Putih Dunia Usaha Pariwisata

Tantangan politik pengorbanan tentu saja datang dari kepentingan diri para politikus itu sendiri, partisanisme, serta tujuan-tujuan jangka pendek yang hendak digapai para politikus.

Mengembangkan politik pengorbanan memupuk budaya yang menghargai altruisme, empati, dan kepemimpinan etis adalah bagian dari upaya membangun dan mengembangkan politik pengorbanan. Nilai-nilai dan laku altruisme, empati maupun kepemimpinan etis sudah seyogianya terus digaungkan dan dipromosikan dalam khazanah politik kita agar menjadi norma dan praktik yang melekat jika kita ingin politik pengorbanan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan politik di negara kita.

Dalam konteks tersebut, beberapa hal berikut perlu diupayakan. Pertama, pendidikan dan meningkatkan kesadaran. Mendidik para politikus, pembuat kebijakan, dan juga masyarakat umum tentang pentingnya nilai-nilai altruisme, empati maupun kepemimpinan etis dalam tata kelola pemerintahan dapat membantu memupuk tumbuhnya budaya politik pengorbanan.

Kedua, contoh nyata kepemimpinan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi para pengikutnya. Para pemimpin politik dapat memberikan contoh nyata dengan menunjukkan perilaku altruistik, empati, dan pengambilan keputusan etis dalam tindakan dan kebijakan mereka.

Baca juga:  Tantangan Bahasa Bali di Era Digital

Ketiga, reformasi institusi. Melakukan reformasi institusi politik agar tercipta transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung budaya kepemimpinan etis, yang berkontribusi terhadap tumbuhnya budaya politik pengorbanan.

Keempat, keterlibatan publik. Mendorong partisipasi dan keterlibatan publik dalam proses politik dapat membantu mempertanggungjawabkan para pemimpin politik dan memastikan bahwa tindakan mereka sejalan dengan prinsip-prinsip etis.

Kelima, legislasi dan kebijakan. Menetapkan undang-undang dan kebijakan yang mendorong dan memberikan penghargaan pada perilaku altruistik, empati, dan kepemimpinan etis dapat ikut membantu menginstitusionalisasikan nilai-nilai tersebut dalam sistem politik.

Keenam, advokasi masyarakat sipil. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat memainkan peran penting dalam advokasi untuk mempromosikan nilai-nilai altruisme, empati, kepemimpinan etis dalam lingkup politik melalui kampanye, upaya pengarahan kebijakan, maupun inisiatif untuk meningkatkan kesadaran publik.

Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut diharapkan nilai-nilai altruisme, empati, dan kepemimpinan etis dapat lebih terinstitusionalisasi dalam sistem politik kita. Yang jelas, dengan memilih jalan politik pengorbanan bakal mencerminkan komitmen para politikus untuk melayani kepentingan masyarakat yang lebih luas dan sekaligus mempertahankan prinsip-prinsip etis, integritas, dan ketulusan.

Penulis, kolumnis dan bloger

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *