DENPASAR, BALIPOST. com – Bali yang kaya akan seni budaya memiliki beragam tarian. Sejumlah tarian, salah satunya legong, bahkan telah mendunia dan menjadi warisan budaya tak benda (WBTB).
Jika dilihat dari jenisnya, Legong sebenarnya memiliki banyak variasi dan nama. Tari Legong Keraton adalah jenis tarian legong yang paling populer diantara yang lainnya.
Tarian ini merupakan kelompok tari klasik Bali yang bercirikan perbendaharaan gerak yang cukup kompleks, ditambah dengan struktur tabuh pengiring yang konon dipengaruhi oleh Gambuh. Kata legong sendiri berasal dari kata “leg” yang berarti gerak tari yang luwes dan lentur, dan “gong” yang berarti gamelan. Kata “legong” dalam hal ini merujuk pada gerak tari yang berhubungan dengan gamelan.
Gamelan yang digunakan untuk mengiringi tari legong disebut gamelan Semar Pagulingan. Tari legong ditarikan oleh dua orang gadis yang tidak menstruasi, kedua penari tersebut disebut legong dan selalu dilengkapi kipas sebagai alat bantu dan biasanya tarian legong ditampilkan ketika upacara adat atau saat menyambut tamu wisatawan. Pada beberapa tarian legong terdapat penari tambahan yang disebut condong yang tidak menggunakan kipas. Struktur tarinya sendiri biasanya terdiri dari Pepeson, Pengecet dan Pakaad.
Tari Legong, dikutip dari situs Institut Seni Indonesia (ISI) dianggap sebagai salah satu jenis tari klasik dalam khazanah budaya Bali, perkembangan aslinya dimulai di istana kerajaan Bali. Dahulu, tarian ini hanya dapat dinikmati sebagai tarian hiburan di lingkungan tempat tinggal para bangsawan, yaitu di keraton. Penari yang diminta menampilkan tarian ini di hadapan raja pasti akan merasakan kenikmatan yang luar biasa, karena tidak semua orang diperbolehkan masuk ke dalam istana.
Awal mula terciptanya tari Legong di Bali melalui proses yang sangat panjang. Menurut Babad Dalem Sukawati, Tari Legong bermula ketika Raja Sukawati I Dewa Agung Made Karna yang memerintah pada tahun 1775 hingga 1825 M ketika beliau melakukan tapa di Pura Jogang Agung di Desa Ketewel (wilayah Sukawati). beliau bermimpi melihat bidadari menari di surga. Mereka menari dengan memakai hiasan kepala yang terbuat dari emas.
Ketika terbangun dari meditasinya, ia segera memerintahkan Bendesa Ketewel untuk membuat beberapa topeng wajah yang muncul dalam mimpinya saat ia sedang bermeditasi di Pura Jogan Agung, dan juga memerintahkannya untuk membuatkan tarian yang mirip dengan yang ada dalam mimpinya.
Akhirnya Bendesa Ketewel mampu menyelesaikan sembilan topeng suci atas permintaan Dewa Agung Made Karna. Pertunjukan tari “Sang hyang legong” pun dipentaskan oleh dua orang penari perempuan yang ditampilkan di pura jogan Agung. Sesaat setelah terciptanya Tari Sang Hyang Legong, sebuah Kelompok pertunjukan Tari Nandir Blahbatuh yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik tampil di hadapan Raja Dewa Agung Manggis, Raja Gianyar saat itu.
Ia sangat tertarik dengan tarian yang mirip dengan gaya tari Sang hyang Legong ini dan meminta dua orang seniman Sukawati untuk menata kembali dengan menggunakan dua orang penari wanita sebagai penarinya. Sejak itulah lahirlah tari Legong klasik yang kita lihat sampai sekarang.
Makna Tari Legong berkaitan dengan unsur keagamaan dan budaya Bali. Seperti yang telah dijelaskan diatas, tarian ini ditampilkan dalam upacara keagamaan animisme dan mengungkapkan rasa terima kasih kepada leluhur atas segala nikmat yang telah diterima masyarakat Bali. Kenikmatan tersebut berupa keberkahan yang berlimpah seperti makanan, kesehatan, dan kenikmatan lainnya yang juga dialami oleh keturunannya.
Namun makna Tari Legong menjadi lebih luas seiring berjalannya waktu. Selain digunakan untuk mengungkapkan rasa syukur, tarian ini juga digunakan sebagai tarian penyambutan dan hiburan, serta berguna untuk menarik wisatawan ke Bali. benar saja, wisatawan yang berkunjung ke Bali sangat menikmati pertunjukan kebudayaan yang ditampilkan. (Ni Wayan Linayani/balipost)