Oleh Marjono
Tiap generasi punya tantangan berbeda, sehingga cara pandang dan sikap sekaligus solusi dalam menyelesaikan persoalan pun juga beda. Belajar bukan hanya dari tembok sekolah atau bangku kuliah, melainkan dari segala resources.
Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru-Dosen tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, lifelong learning.
Lembaga pendidikan sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Pengajar diubah, metode diperbarui, fasilitas baru dibangun. Suatu saat pemuda akan mengisi kekosongan disetiap gerbong dengan mimpi. Jalan itu dapat ditempuh dengan cara sederhana, yakni mengajak masyarakat berpikir “out of the box,” berpikir di luar kebiasaan.
Mulailah berpikir apa yang orang lain tidak pikirkan. Berpikir di luar kebiasaan orang lain akan memberikan efek luar biasa. Pemikiran-pemikiran baru pun akan banyak bermunculan jika kita berpikir outside the box.
Berpikir besar mulai dari yang kecil dan dilakukan sekarang. Jangan berpikir terlalu lama. Melakukan action kemudian salah, ternyata jauh lebih baik dari pada diam saja. Masa muda adalah masa untuk membentuk pikiran, membentuk kemauan, serta membangun kreativitas dan inovasi. Dan menjadi seorang entrepreneur adalah wujud nyata. Peluang hanya datang untuk orang orang yang memang sudah siap. Oleh karena itu jangan pernah takut mencoba dan ragu-ragu terhadap sesuatu. Mumpung masih muda, buatlah sesuatu.
Budaya over protective di kalangan orangtua mengakibatkan kemampuan kaum muda dalam mengambil keputusan menjadi lemah. Ini salah satu penyebab utama yang mengakibatkan banyak kaum muda kalah dalam mengejar karir dan impiannya.
Fenomena ini menurut Renald Kasali diidentifikasi sebagai passenger mentality atau mental penumpang. Selama ini banyak mahasiswa atau kaum muda yang hanya diajarkan teori saja. Sehingga mereka hanya menjadi sarjana kertas yang hanya mampu memindah isi buku ke kertas. Mereka yang bisa memindahkan ilmu dari otak ke seluruh tubuhnya itu baru sarjana hebat.
Perguruan tinggi harus mampu melahirkan sarjana-sarjana yang mampu mengaplikasikan ilmunya. Bukan hanya di sini di kepala, tetapi sampai ke tangan, kakinya dalam melangkah, mulutnya berbicara. Sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia selama ini cenderung mengarah ke otak (brain memory), seperti rumus dan hafalan.
Para hero, seperti Sukarno muda, Hatta muda, Yamin muda maupun dominasi pemuda di parlemen menjadi semangat baru dalam perbaikan bangsa ke depan. Tantangan kaum muda dalam mengisi panggung politik tanah air tidak bisa dilihat dari seberapa banyak pemuda yang masuk dalam lingkaran kekuasaan, tapi seberapa besar kontribusi yang bisa diberikan kepada masyarakat dalam bentuk bukti karya nyata.
Pilihannya ada pada pemuda, ingin menjadi bagian dari sejarah, seperti yang ditorehkan oleh generasi sebelumnya, atau hanya menjadi penonton dari sejarah itu sendiri. Pada saat yang sama mereka seolah kian tercerabut dari akar-akar lokal dan nasionalnya bahkan banyak di antara mereka tidak lagi dapat menyebut kelima Pancasila secara benar.
Pemuda, bagaimanapun masih dalam proses pengembangan diri. Karena itu, kian besar kesempatan bagi mereka mendapatkan akses-akses ilmu dan informasi untuk meningkatkan kualitas diri, kian baik pulalah sesungguhnya peluang mereka dalam menyongsong dan menghadapi tantangan hari ini dan masa depan. Di sinilah kaum muda boleh optimistis dengan masa depan yang lebih baik.
Kita tahu, masa depan Indonesia adalah Republik kaum muda. Reaktualisasi nilai sumpah pemuda dan kepahlawanan, selalu menjunjung dinamika dan dialektis setiap persoalan. Barisan muda ini tak boleh lelap dalam baju kebesaran sejaran masa silam. Semangat ini setidaknya menjadi basis pijakan untuk berpartisipasi dalam membangun bangsa. Percaya diri atas segala potensinya. Tak perlu basa-basi, cukup pemuda yang dlahirkan dengan ke-Indonesia-an utuh untuk menarasikan ide-ide segar konstruktif kita dengan baik, santun dan jelas, tak kalah baik adalah aksi nyata (narasi plus bukti).
Pergerakan kaum muda (sekalipun) merupakan martir untuk memperjuangkan hak dan cita-cita bangsa. Pemuda perlu diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin. Masalah kepemimpinan bukan soal tua atau muda, tetapi menyangkut kapasitas yang dimiliki oleh pemimpin tersebut. Pemuda Indonesia, mereka yang tidak korupsi, pungli dan gratifikasi. Bukan pencaci tetapi memberi solusi. Menutup tulisan ini, saya mengutip kalimat Bung Hatta, “Indonesia tidak akan Berjaya karena obor di Jakarta, namun Indonesia akan berjaya dengan nyala lilin-lilin di desa.”
Penulis, Pendamping Desa Miskin Indonesia Angkatan I