DENPASAR, BALIPOST.com – Kalangan pariwisata Bali menolak Bali dijadikan replika dari destinasi lain. Sebab, untuk menjadikan Bali berdaya saing kuat, tak mesti menjadikan replika destinasi lain.
Bahkan tak perlu menambahkan gimmick pariwisata halal. Alasannya, selama ini pariwisata Bali mampu berkembang dengan segala keunikan dan budaya serta tentunya bantuan infrastruktur pemerintah. Demikian disampaikan Sekretaris BPC PHRI Badung, I Gede Ricky Sukarta, Rabu (6/11).
Ia mengatakan menjadikan Bali seperti “New Singapore” tentu memiliki potensi yang besar jika difokuskan pada peningkatan kualitas infrastruktur, profesionalisme, dan daya saing tanpa melupakan aspek budaya dan lingkungan yang menjadi inti dari identitas Bali. Seharusnya pendekatan yang diambil, lebih mengarah pada transformasi Bali sebagai destinasi wisata kelas dunia yang unik dengan karakteristik budayanya yang kuat.
“Sebagai pelaku pariwisata, kami siap mendukung langkah-langkah yang mampu memajukan Bali, namun kami juga berharap agar pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan lingkungan yang telah menjadi identitas Bali selama ini,” ujarnya.
Sekretaris BPC PHRI Badung, I Gede Ricky Sukarta, yakin Bali memiliki peluang besar untuk bersaing di kancah internasional, namun harus tetap menjadi “Bali” dengan segala kekayaan lokalnya, bukan sekadar replika dari destinasi lain. Sebagai seorang praktisi dan pelaku usaha di sektor pariwisata Bali, ia menilai, cita-cita menjadikan Bali seperti “New Singapore” merupakan ambisi besar yang memerlukan tinjauan dari beberapa aspek, baik peluang maupun tantangan.
Jika hal itu diwujudkan, maka berpotensi besar dalam mengubah lanskap pariwisata Bali menjadi destinasi yang mampu bersaing di panggung internasional. Dalam hal infrastruktur, kata dia, pengembangan digitalisasi, dan tata kelola pariwisata yang lebih profesional, dan Bali dapat belajar dari kemajuan yang telah dicapai Singapura.
Terobosan baru seperti ini akan mendorong Bali memperkuat kualitas layanan, meningkatkan daya tarik investasi, serta mendukung pengembangan destinasi yang lebih terintegrasi dan inovatif. Perubahan ini juga berpeluang mendorong pengembangan pariwisata berbasis MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), yang dapat mengakomodasi wisatawan dengan segmentasi khusus, meningkatkan kunjungan dari kalangan profesional, dan memperpanjang masa inap wisatawan.
Jika inisiatif ini benar-benar digarap dengan serius, Bali juga dapat mengembangkan potensi ekowisata dan regeneratif yang mendukung pariwisata berkelanjutan, yang juga relevan dalam visi Bali sebagai destinasi kelas dunia. Namun, penting pula untuk mempertimbangkan karakteristik Bali yang unik dari segi budaya, adat istiadat, dan nilai spiritual yang tidak boleh disamakan atau diubah menjadi seperti Singapura.
Diakuinya, ada kekhawatiran bahwa menjadikan Bali seperti “New Singapore” justru berpotensi mengaburkan identitas budaya Bali yang kuat dan menjadi daya tarik utama wisatawan. Bali memiliki kekayaan adat dan kearifan lokal yang sebaiknya dijaga dengan baik sebagai nilai jual utama.
Dari segi lingkungan, model pembangunan yang agresif juga dapat membawa risiko pada keberlanjutan alam Bali, yang sudah menghadapi tantangan serius seperti krisis air bersih, kerusakan lingkungan akibat pembangunan, dan sampah plastik.
Agar Bali bisa bersaing tanpa mengorbankan lingkungan dan warisan budaya, sebaiknya ada pendekatan yang mengintegrasikan keberlanjutan sebagai komponen utama.
Pengamat ekonomi Viraguna Bagoes Oka mengatakan, secara kawasan, Asia kini telah berubah. Malaysia kini berkembang industri kesehatannya, Singapura berkembang dengan industri keuangannya, sementara Bali bergerak dari industri pariwisata menuju industri investasi dan hub bisnis nasional dan internasional. “Sehingga identitas pariwisata lokal yang menjadi ikon Bali tergerus terus,” ujarnya.
Ia menilai perlu evaluasi dan berkontemplasi kemana arah Bali akan dibawa. Menurutnya kondisi Bali berkembang agresif.
Investasi di Bali tak terkendali. Belum lagi kinerja imigrasi dinilai lemah dalam menyeleksi orang asing masuk ke Bali. “Tidak bisa Bali disamakan dengan daerah lain di Indonesia, harus ada keunikan khusus yang betul-betul bisa menjaring, yang berkualitas,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)