Ir. Dharma Gusti Putra Agung Kresna. (BP/Istimewa)

Oleh Agung Kresna

Laut adalah bagai jalan besar yang terletak di depan bangunan. Sementara kawasan pesisir pantai adalah trotoarnya. Maka akan janggal jika masyarakat umum yang tidak menjadi tamu hotel, dilarang melintas/menikmati pantai yang ada di halaman hotel.

Ini bagaikan melarang masyarakat melewati trotoar di depan sebuah hotel yang terletak di tepi jalan raya. Pulau Bali sebagai kawasan wisata memang dikenal dengan penginapan di kawasan pesisir pantai yang menawarkan keindahan dan eksotisme pantainya. Pihak hotel seringkali melarang orang yang bukan tamu hotel, ikut menikmati pantai yang bersinggungan dengan halaman hotel. Sering kali terjadi pengusiran dilakukan oleh pihak security hotel.

Kontroversi terjadinya benturan kepentingan adat krama Bali dengan para pemilik akomodasi pariwisata di kawasan pantai Bali masih terus saja terjadi. Para pemilik akomodasi pariwisata tepi pantai, masih saja menganggap bahwa pantai yang ada di kawasan akomodasinya sepenuhnya menjadi hak mereka.

Baca juga:  Nelayan di Melaya Hilang, Diduga Tenggelam

Sementara kawasan pantai bagi krama Bali menjadi area melasti sebagai ruang ritual sakral. Juga sebagai tempat bersandarnya para nelayan tradisional warga setempat. Kawasan pesisir pantai juga memiliki nilai ekologi dan sosial, Karena itulah ada peraturan bernama garis sempadan pantai, sebagaimana sempadan jalan maupun sempadan sungai.

Garis sempadan ini merupakan garis batas area yang memang tidak diizinkan untuk digunakan sebagai area privat/terbangun. Area sempadan merupakan kawasan publik. Garis sempadan ini memiliki jarak berbeda-beda tergantung dari derajat bahaya hempasan air laut di masing-masing kawasan.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2016 Tentang Batas Sempadan Pantai sebagai penjabaran UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014), mengatur bahwa sempadan pantai minimal adalah 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Baca juga:  Pesona Bawah Laut Tulamben

Sempadan pantai diartikan sebagai daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, Garis sempadan merupakan garis batas luar pengaman yang ditetapkan dalam mendirikan bangunan/pagar. Pada prinsipnya, garis sempadan adalah garis batas antara kawasan publik dengan kawasan privat.

Privatisasi Pantai

Area sempadan merupakan kawasan publik yang sekaligus berfungsi sebagai area penyangga ekologis bagi wilayah laut, danau dan sungai serta area jalan raya. Realitasnya sering sekali kawasan pantai telah dikooptasi oleh para pemilik tanah di kawasan pesisir pantai, hingga berubah fungsi menjadi area privat. Banyak pengelola akomodasi pariwisata di kawasan pesisir pantai Bali (hotel, restoran, watersport, dll) yang telah menjadikan pesisir pantai di area akomodasi mereka menjadi area privat. Sehingga banyak kawasan pantai yang tidak lagi bisa diakses masyarakat umum sebagai area publik sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Padahal keberadaan batas sempadan pantai ini selain dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumber daya di wilayah pesisir, juga untuk menjaga masyarakat pesisir dari ancaman bencana alam (gempa, tsunami, erosi, dan abrasi). Menjadi area titik kritis dalam menjaga keseimbangan kawasan alam dengan area terbangun.

Baca juga:  Pendidikan dan Capaian Pembelajaran Lulusan

Sosialisasi keberadaan sempadan pantai harus dilakukan terus menerus kepada publik -utamanya para pemangku kepentingan-, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang pentingnya keberadaan sempadan pantai. Agar semakin banyak pihak yang memahami nilai penting dan fungsi sempadan pantai,

Sehingga hanya bangunan/lingkungan buatan yang benar-benar laik fungsi yang akan diberikan izin untuk berdiri dan beroperasi pada suatu kawasan pantai tertentu. Hal ini melihat kenyataan bahwa investor sering kali menitik beratkan pada faktor keuntungan finansial semata, sehingga kadang terjadi pemaksaan pembangunan.

Penulis, Arsitek, Senior Researcher pada Centre of Culture & Urban Studies (CoCUS) Bali, tinggal di Denpasar

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *