Oleh Ir. I Wayan Sukarsa, M.M.A.
Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi, dikarenakan oleh pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Globalisasi memiliki keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia ditandai gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya dunia atau world culture.
Cikal bakal persebaran dan perubahan budaya didorong perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif sebagai dampak berkembangnya teknologi komunikasi, menggunakan media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antar bangsa, baik dalam bidang perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan bentuk-bentuk interaksi lainnya.
Perubahan tata nilai budaya seiring semakin derasnya arus budaya asing yang masuk, mau tidak mau kepribadian akan terpengaruh, terdegradasi bahkan ”tercemar”, oleh corak dan kultur budaya asing yang lebih mementingkan individualisme, formalitas, kontrak kerja resmi, dan sebagainya.
Indonesia adalah sebuah negara kesatuan dibangun berdasarkan kebinekaan (Bhineka Tunggal Ika) memiliki beranekaragam adat dan budaya daerah menjadi identitas, kebanggaan yang perlu dijaga, dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dengan tidak menghilangkan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya.
Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa yang digali dan bersumber dari kearifan lokal daerah yang dilandasi oleh norma agama mengatur, melindungi keberadaan dan keberlanjutan budaya daerah menjadi filter (penyaring) nilai-nilai baru, guna mempertahankan eksistensi kebudayaan yang ada. Adat dan budaya, merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Karya (material culture) adalah kemampuan manusia untuk menghasilkan atau berwujud benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Rasa adalah semua unsur ekspresi jiwa manusia yang mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma sosial, termasuk di dalamnya agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian.
Cipta adalah kemampuan mental dan berpikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Bali salah satu daerah dengan masyarakatnya sebagian besar beragama hindu, terdiri berbagai adat, budaya hasil akulturasi budaya dari luar memperkaya khazanah budaya yang ada, memiliki keunikan dan ciri khas yang berbeda menjadi magnet untuk diketahui dan dikunjungi oleh berbagai bangsa didunia sebagai pendukung pariwisata.
Akulturasi budaya sebagai perpaduan yang berbeda menjadi satu bingkai tanpa menghilangkan nilai budaya sebelumnya. Akulturasi budaya luar sebagai akibat derasnya arus globalisasi, berjalan sangat cepat diibaratkan pisau bermata dua dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap keberlanjutan dan kelestarian budaya yang telah ada, sedikit banyak dapat melunturkan nilai-nilai bahkan mengancam eksistensi kebudayaan daerah.
Dampak positif dari globalisasi budaya, perubahan tata nilai dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional, memberikan kemudahan beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju dan tingkat kehidupan yang lebih baik. Dampak negatif masuknya budaya asing dengan mudah melalui media teknologi dan informasi yang semakin canggih menjadikan masyarakat menyerap budaya tanpa filterisasi, kecenderungan mencintai budaya asing hingga memunculkan memudarnya jiwa nasionalisme ditandai berkembangnya sifat individualis, sifat materialistis, sifat konsumerisme dan hedonism, menyebabkan terjadinya goncangan budaya (culture shock), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mampu menahan berbagai pengaruh budaya dari luar sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang tidak boleh berubah karena modernisasi, adalah adat istiadat, merupakan nafas dari kehidupan masyarakat menjadi akar sebuah kebudayaan.
Menurut sosiologi Gillin dan Raimy akulturasi adalah proses budaya dalam suatu masyarakat yang dimodifikasi dengan budaya lain dengan tetap mempertahankan kebudayaan lama tidak berjalan secara tunggal, melainkan terjadi secara dinamis. Akulturasi Budaya asing juga bisa diartikan sebagai pemilahan (penyaringan) budaya yang datang dari asing, memilih, memasukkan budaya yang baik untuk kemajuan bangsa dan membuang budaya yang tidak sesuai dengan norma yang sudah ada di negara asal.
Faktor-faktor yang mengancam dan penghambat eksistensi budaya daerah diantaranya, a. Kurangnya Kesadaran masyarakat menjaga budaya daerah, masyarakat lebih memilih budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman, b. Minimnya komunikasi budaya, c. Kurangnya pembelajaran budaya sedangkan faktor penghambat berupa: a. faktor internal yaitu sikap nasionalisme individu lebih mencintai budaya asli yang masih rendah, b. faktor eksternal yaitu kurangnya sosialisasi dan mediasi didorong oleh perilaku masyarakat yang sudah tidak menganggap penting mempelajari budaya daerah, sangat dikhawatirkan dan menjadi ancaman bagi eksistensi kebudayaan yang nyaris memudar dan terancam punah.
Filterisasi budaya asing dalam kehidupan sehari hari sangat penting, jika tidak dapat menciptakan kurangnya rasa kecintaan terhadap tanah air dan dapat menghilangkan ragam kebudayaan bangsa sendiri yang berakar dari nilai-nilai daerah dijiwai oleh agama, dan norma budaya yang ada. Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari upaya-upaya pelestarian adat, budaya di era globalisasi menemukan banyak kendala menganggap budaya luar lebih baik, dari segi pemahaman pentingnya adat, budaya sebagai perekat, norma kehidupan, pendukung pelaksana upacara agama, penggerak ekonomi serta keberlanjutan pariwisata Bali berbasiskan budaya.
Semakin berkembangnya teknologi memberikan dampak yang kurang baik bagi budaya Bali, tercermin mulai lunturnya kaidah dan etika penggunaan busana adat Bali, penggunaan bahasa Bali serta nilai, norma kesusilaan dalam pergaulan di masyarakat. Menjaga, mempertahankan budaya Bali diperlukan dukungan dari Pemerintah untuk meningkatkan kecintaan serta mengetahui pentingnya budaya daerah dalam membangun budaya bangsa, cara beradaptasi ditengah perkembangan zaman yang bisa mengancam eksistensi budaya dan kepribadian bangsa.
Sebagai upaya antisipasi melunturnya dan menjaga keberlanjutan adat, budaya seperti sekarang ini harus ditangkal melalui filterisasi budaya asing, berpedoman pada nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila dan falsapah Tri Kona (Upeti, Stiti dan Pralina), dilandasi konsep Tri Hita Karana yang diaktualisasikan dalam Tat Twam Asi (aku adalah kamu dan kamu adalah aku), Wasudewa Khutumbhakam (kita semua bersaudara), segilik seguluk selulung sebayantaka, paras paros sarpanaya, saling asah, asih, asuh (bersatu padu, menghargai pendapat orang lain, saling mengingatkan, menyayangi, dan tolong menolong), melalui pembelajaran tentang budaya, memahami budaya sendiri, mempertahankan budaya lokal, cinta dan bangga pada budaya sendiri, tidak terlalu terpengaruh oleh budaya luar.
Selain itu, peran masyarakat juga cukup penting untuk mengajarkan pada generasi muda cinta budaya sendiri, memiliki keahlian filterisasi dan adaptasi untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi budaya yang dimiliki untuk menghindari kebudayaan kita dicuri, dipatenkan atau pun dieksploitasi dalam rangka komersial, bahkan diklaim kepemilikannya oleh oknum-oknum atau korporasi dari negara lain.
Penulis adalah Analis Kebijakan pada Bidang Riset, Inovasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Badan Riset dan Inovasi Kabupaten Badung