Oleh Marjono
Topik perempuan di ruang politik selalu saja menarik dan penting. Menarik karena secara riil, keterlibatan mereka dalam politik praktis masih kecil, padahal entitas ini jumlahnya separuh populasi penduduk bumi. Penting karena ada begitu banyak hak dan kebutuhan menyangkut perempuan yang bersentuhan langsung dengan keputusan politik.
Bahkan ada ungkapan, “Jika demokrasi mengabaikan partisipasi perempuan, tidak menanggapi suara perempuan, dan membatasi perkembangan hak-hak perempuan, sesungguhnya demokrasi itu hanya untuk separuh warganya.” Ya, Perempuan diharapkan hadir bukan hanya di parlemen, melainkan juga menjadi kepala daerah, seperti Bupati, Wali Kota, atau Gubernur.
Perempuan sebagai Kepala Daerah diharapkan lebih memahami persoalan perempuan, anak, dan keluarga. Karena itu, dapat berkontribusi menekan angka kematian ibu (AKI), menurunkan tingkat kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan, atau memastikan adanya dukungan terhadap perempuan pelaku ekonomi. Pada pilkada (pemilihan kepala daerah) yang berlangsung 27 November tahun ini, kita akan menyaksikan bagaimana perempuan calon kepala daerah (cakada) berkompetisi memenangi pertarungan. Basis dukungan menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan sebelum memutuskan maju. Itu karena basis dukungan akan menjadi mesin kemenangan yang efektif.
Jika perempuan memilih mencalonkan diri dari jalur perseorangan (independen), perjuangan yang harus dijalaninya jauh lebih berat. Dalam Pasal 41 UU Nomor 10 Tahun 2016, mensyaratkan adanya jumlah minimal dukungan calon perseorangan yang dibuktikan dengan pengumpulan KTP dan NIK. Besarannya mengacu pada persentase tertentu berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Jumlah dukungan minimal bervariasi antarprovinsi, tergantung pada jumlah penduduk yang memiliki hak pilih pada pemilihan kepala daerah sebelumnya. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk dalam DPT hingga 2 juta jiwa, dukungan minimal yang diperlukan adalah 10 persen. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk dalam DPT antara 2 hingga 6 juta jiwa, dukungan minimal yang diperlukan adalah 8,5 persen.
Untuk provinsi dengan jumlah penduduk dalam DPT antara 6 hingga 12 juta jiwa, dukungan minimal yang diperlukan adalah 7,5 persen. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk dalam DPT lebih dari 12 juta jiwa, dukungan minimal yang diperlukan adalah 6,5 persen. Selain itu, persyaratan dukungan tersebut juga harus tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan. Jika syarat dukungan terpenuhi, tetap saja kandidat perempuan harus berhadapan dengan persoalan biaya politik. Tingginya biaya politik dalam proses kampanye menjadi tantangan besar bagi perempuan.
Strategi kampanye dan hubungannya dengan akar rumput juga menjadi penentu karena nasibnya bergantung pada pilihan rakyat. Kita berharap pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 menghadirkan kontestasi yang berintegritas. Semua elemen yang terlibat, baik partai politik, penyelenggara pemilu, maupun kandidat dan tim suksesnya, harus patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan.
Dukungan untuk perempuan cakada Pilkada Serentak 2024 ini akan digelar di 545 daerah di seluruh Indonesia (37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota). Bagaimana supaya menjadi ajang meningkatkan keterwakilan perempuan di eksekutif? Pertama, perlu penerapan kebijakan affirmative action dalam desain aturan main penyelenggaraan pilkada serentak dengan cara mempermudah syarat pencalonan bagi perempuan calon kepala daerah.
Kedua, partai politik harus menerapkan mekanisme kuota pencalonan perempuan di internal parpol untuk meningkatkan jumlah calon perempuan pada pilkada. Ketiga, partai politik harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kader perempuan yang memiliki kapasitas untuk maju sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan memberikan dukungan maksimal baik moril maupun materiel.
Keempat, bantuan insentif dari negara berupa biaya kampanye bagi perempuan cakada pada pilkada. Kelima, perempuan cakada diharapkan menyampaikan komitmen memperjuangkan kepentingan perempuan, anak dan keluarga pada masa kampanye, serta jangan sampai melupakannya saat telah menjabat.
Keenam, mengajak masyarakat untuk memilih perempuan cakada pada Pilkada Serentak 2024. Penting, mengingatkan masyarakat bahwa perempuanlah yang paling memahami kepentingan perempuan, memperjuangkan isu-isu perempuan dan anak. Pun menurunkan angka kemiskinan perempuan, menghapus kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak, serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas perempuan dan anak dengan melahirkan kebijakan properempuan, anak, dan keluarga.
Bisakah Pilkada Serentak 2020 melahirkan perempuan kepala daerah yang mumpuni? Semoga. Hadirnya kepala daerah perempuan, sekurangnya turut berkontribusi mewujudkan perjuangan Raden Ajeng Kartini untuk menjadikan Perempuan Indonesia yang berdaya, hebat dan mandiri.
Kartini adalah sosok perempuan dengan pemikiran luas dan maju bahkan berpikir sampai ke lintas abad. Dia, anak perempuan yang cerdas, dan peduli pada berbagai permasalahan di sekitarnya. Pendidikan perempuan, menjadi perhatiannya. Kartini prihatin terhadap tidak adanya kesempatan bagi perempuan untuk menempuh pendidikan. Selain itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat juga menjadi bagian atensi Kartini.
Perempuan harus berpikir maju dan tidak eksklusif, terus meningkatkan kapasitas diri, menguasai teknologi informasi, peka terhadap perubahan sosial, ekonomi, politik, dan hukum kemudian melibatkan diri dalam solusinya.
Sudah saatnya, secara egaliter keterlibatan kaum perempuan dalam aktivitas politik bukan semata-mata agar dapat menguasai posisi tertentu dalam masyarakat atau agar suara mereka didengar oleh masyarakat. Esensi kiprah politik perempuan adalah suatu bentuk tanggung jawabnya terhadap masyarakat, untuk mendukung terwujudnya edukasi dan kesadaran politik masyarakat serta proses demokrasi yang berkualitas.
Penulis, Pendamping Desa Miskin Indonesia Angkatan I