Ngurah Weda Sahadewa. (BP/Istimewa)

Oleh Sahadewa

Kemampuan dalam berteknologi tidak sebatas pada kesempatan. Inilah sebagai bentuk nyata dalam berbudaya secara teknologi. Pada kesempatan inilah seyogyanya disadari secara lebih penuh bahwa pertama, teknologi adalah sebuah bentuk kebudayaan dan kedua, teknologi tidak terlepas dari jalan kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks dan aktualitasnya didasarkan kepada budaya. Istilah budaya inilah yang sering menimbulkan perdebatan.

Untuk itu perkenankan dalam tulisan ini hendak dijatuhkan suatu gagasan bahwa jalan teknologi tidak dapat dihindari sebagai bentuk kenyataan. Inilah sebenarnya yang sudah terjadi. Terjadinya itu sudah lama.

Lamanya itu entah mulai dari kehidupan manusia sudah mengetahui apa yang sesungguhnya merupakan budayanya. Dari sinilah kekuatan budaya hendak ditemukan. Sebagai sebuah kehidupan yang berbudaya sudah pasti memerlukan evaluasi.

Evaluasi atas kehidupan yang berbudaya adalah perlu ketika mengetahui jika kebudayaannya itu tidak serta merta ada. Inilah yang mencerminkan adanya sadar budaya. Sadar budaya inilah yang menunjukkan kebesaran sebagai bangsa yang senantiasa melihat ke dalam dirinya atas apa yang telah dapat dilakukan secara sistematis dan apa yang belum waktunya dapat dilakukan secara sistematis itu. Ketika ada kebudayaan yang terlewatkan secara spontan telah menggunakan seperangkat alat untuk menjadikan kekuatan dirinya sebagai dominan sehingga budaya telah menjadi jalan.

Baca juga:  Drona, Guru Besar Culas Miskin Hati

Jalan kebudayaan yang ditempuh sudah pasti berliku adanya sehingga tidak jarang sulit ditemukan bekas langkahnya itu. Untuk menjadikan ini sebagai bentuk dan pola yang ditemukan maka tidak perlu menjadikan diri manusia yang sekarang harus menjadi terjebak dalam bentuk dan pola itu sendiri. Inilah yang penulis sebut sebagai sadar budaya evaluatif. Pada dasarnya sadar budaya evaluatif tidak untuk menegasikan melainkan untuk menemukan apa sebenarnya yang terjadi.

Jalan teknologi yang terjadi tidaklah kemudian menuntun orang serba pragmatis karena teknologi tumbuh dan berkembang semata-mata sering dilihat manfaatnya. Itulah yang menjadikan orang sering pula terlupakan bekas langkah yang telah disusun oleh para penerus sebelumnya. Ini pula yang menunjukkan bahwa teknologi sebenarnya tidak benar seratus persen dan juga tidak salah seratus persen namun merujuk kepada bagaimana sebetulnya orang di masa tertentu menuntun dirinya dalam hidupnya itu berteknologi.

Budaya adalah keputusan dalam kenyataan sehingga manusia dapat menentukan apa yang sebaiknya dia lakukan. Inilah yang seringkali dilupakan sebagai bagian intrinsik dalam berbudaya sehingga terjebak lah dalam suatu perspektif tertentu atas budaya itu sendiri.

Baca juga:  “Hoax” dan Sifat Hakikat Manusia

Ini pula yang menentukan bahwa kehidupan tanpa budaya menjadikan kebudayaan dapat sirna. Sirnanya kebudayaan bukan sebagai sebuah ide melainkan dalam pelaksanaan hidup. Pelaksanaan hidup tidak terlepas dari budaya sehingga jika suatu standar hidup terevaluasi maka sebenarnya budaya pun diam-diam perlu dilakukan suatu bentuk evaluasi.

Evaluasi atas teknologi memiliki dua sisi utama yaitu pertama sebuah keadaan atau pun konstelasi yang dimengerti oleh penerus budaya  dan kedua keadaan yang menunjukkan bagaimana teknologi dapat bersimbiosis dengan keadaan budaya sehingga mencerminkan suatu bentuk keadaan orang atau pun manusia yang terus belajar. Oleh karena itu, budaya adalah sebuah jalan yang menciptakan jalan teknologi sejauh keadaan masyarakat terus dipelajari dengan jalan budaya teknologi.

Budaya teknologi dengan jalan teknologi tidak terlepas dari budaya yang diterapkan sejauh budaya tersebut selalu siap untuk dievaluasi. Inilah titik pangkal dengan jalan evaluasi maka budaya dapat bersimbiosis untuk menciptakan suatu bentuk tatanan teknologi. Pada kesempatan ini dapat diungkapkan sebagai berikut yaitu pertama, keadaan masyarakat dengan jalan budaya dikatakan sebagai pintu masuk dalam memantulkan jalan teknologi. Kedua, ketika jalan budaya dan jalan teknologi disalahgunakan maka pintu terbuka untuk tidak mampu menemukan titik sentral di antara keduanya itu. Namun, dapat diketahui dengan jelas bahwa bagaimana teknologi dan budaya adalah sebuah jalan.

Baca juga:  Vaksin Pariwisata Bali

Ketiga, keadaan atau pun konstelasi teknologi dan budaya adalah seimbang jika masyarakat diajarkan untuk berkemampuan dalam tidak sekedar berpikir kritis melainkan mampu mengonstruksikan garis pemikiran. Keempat, yang ketiga itu berarti bahwa tidak ada ketentuan baku dalam berbudaya dan berteknologi asalkan mampu memberikan suatu nilai.  Kelima, nilai-nilai yang terkandung dalam jalan teknologi dan jalan budaya itulah yang mampu untuk menciptakan suatu terobosan keilmuan.

Oleh karena itu lembaga pendidikan apalagi yang terafiliasi dengan masyarakat mestinya mampu untuk memberikan kontribusi untuk menunjukkan bahwa bagaimana sejatinya teknologi dan budaya bahkan saintifik tidak merupakan sebuah keterpisahan. Ini membuktikan jika masyarakatnya itu memiliki kemampuan khusus tertentu dalam menentukan dan memutuskan bahwa jalan teknologi tidaklah mesti berdiri sendiri melainkan suatu bagian yang tidak terpalingkan dari kesadaran budaya.

Penulis, Dosen Fakultas Filsafat UGM

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *