Yosep Fristamara. (BP/Istimewa)

Oleh Yosep Fristamara

Alih fungsi lahan di Bali makin meresahkan sebagai dampak pengembangan fasilitas pariwisata. Sektor pariwisata yang berkembang pesat telah membawa Bali ke titik di mana ketegangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan menjadi lebih nyata.

Di satu sisi, pariwisata memacu kemajuan yang membawa kemakmuran, di sisi lain  perubahan fungsi lahan ini menimbulkan ancaman serius bagi ekosistem Bali dan keseimbangan alamnya.Data menujukan bahwa terakhit alih fungsi lahan swah mencapai 4.690 Ha. Tahun 2022 lahan sawah tercatat tinggal 71.836 Ha dari posisi di tahun 2018 yang mencapai 76.526  Ha.

Sebagai sektor utama yang menopang perekonomian Bali, pariwisata tentu saja telah menghasilkan banyak manfaat bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari industri ini telah membuka lapangan pekerjaan baru, meningkatkan standar hidup, dan membiayai pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah. Jaringan jalan yang lebih baik, fasilitas umum yang memadai, serta sarana dan prasarana yang mendukung kehidupan sehari-hari, sebagian besar adalah buah dari kemajuan sector pariwisata yang terus berkembang. Banyak pihak menikmati dampak positif ini, dan Bali menjadi contoh daerah yang berhasil memanfaatkan pariwisata untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

Baca juga:  Optimisme Perekonomian Bali 2017

Dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan, Bali kehilangan banyak area hijau yang sebelumnya berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Kehilangan lahan pertanian tidak hanya mempengaruhi ketahanan pangan lokal, tetapi juga mengganggu keseimbangan ekologi, dari penurunan kualitas air dan udara hingga pengurangan keanekaragaman hayati. Selain itu, meningkatnya jumlah wisatawan turut menambah polusi udara dan air serta masalah limbah yang membebani sistem alam Bali.

Pada akhirnya, kerusakan lingkungan yang terjadi tidak hanya berdampak pada ekosistem lokal, tetapi juga mengancam daya tarik wisata Bali itu sendiri, yang bergantung pada keindahan alam dan kekayaan budaya.

Ketidakseimbangan ini semakin terasa ketika kita bercermin  pada konsep Tri Hita Karana, sebuah filosofi hidup yang mengakar dalam budaya Bali, mulai terabaikan. Prinsip Tri Hita Karana menekankan pentingnya harmoni dalam tiga aspek kehidupan: hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam, yang dikenal sebagai Palemahan.

Dalam konteks alih fungsi lahan, aspek palemahan mengajarkan pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan alam sebagai sumber kehidupan dan keseimbangan. Pembangunan masif yang lebih menekankan keuntungan ekonomi jangka pendek  justru mengorbankan prinsip palemahan. Kondisi ini  menjauhkan manusia dari alam yang seharusnya dihormati dan dilestarikan.

Baca juga:  Modal Pertumbuhan Pariwisata 2022

Munculnya konflik antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Bali menunjukkan perlunya solusi yang lebih bijak dan berkelanjutan. Tri Hita Karana dapat menjadi landasan kuat bagi Bali untuk menyeimbangkan kebutuhan pariwisata dengan upaya pelestarian lingkungan.

Sayangnya, penerapan prinsip ini dalam kebijakan pembangunan sering kali terbentur oleh kenyataan di lapangan, di mana kepentingan ekonomi lebih mendominasi dibandingkan dengan upaya menjaga keseimbangan ekologis. Agar Bali mampu mempertahankan keberlanjutan pariwisatanya tanpa mengorbankan alam, berbagai solusi perlu dipertimbangkan. Salah satu langkah penting adalah menerapkan regulasi yang lebih ketat terkait alih fungsi lahan.

Pemerintah dapat membatasi pengembangan di area-area tertentu dan memastikan bahwa kawasan hijau tetap dilestarikan sebagai paru-paru pulau ini. Selain itu, pariwisata berkelanjutan perlu menjadi prioritas utama dalam perencanaan ekonomi jangka panjang Bali. Konsep eco-tourism, yang menekankan pada konservasi dan pengurangan dampak lingkungan, bias menjadi pendekatan yang lebih sesuai bagi Bali, sehingga pariwisata tidak merusak sumber daya yang seharusnya dilestarikan.

Baca juga:  Besok, MDP Gelar Pasamuhan Agung VI

Partisipasi semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku industri pariwisata, sangatlah penting untuk mewujudkan keberlanjutan ini. Inisiatif pelestarian lingkungan, seperti pengelolaan sampah yang lebih baik, program penghijauan, serta perlindungan terhadap kawasan konservasi perlu diperkuat dan diterapkan secara konsisten. Selain itu, edukasi bagi masyarakat dan wisatawan tentang pentingnya menjaga lingkungan Bali dapat meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab kolektif untuk menjaga pulau ini tetap lestari.

Pada akhirnya, fenomena alih fungsi lahan di Bali ini bukanlah masalah yang bias diabaikan, karena pariwisata dan lingkungan adalah dua elemen yang saling terkait. Bali tidak dapat mempertahankan daya tariknya jika ekosistem yang mendukungnya hancur.

Melalui penerapan prinsip Tri Hita Karana secara nyata, Bali memiliki peluang untuk menjadi contoh bagi daerah wisata lain tentang bagaimana menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Keseimbangan ini tidak hanya akan menjaga kelestarian Bali sebagai tujuan wisata, tetapi juga memastikan bahwa pariwisata tetap menjadi sumber kesejahteraan bagi generasi yang akan datang.

Penulis, Mahasiswa Magister Akuntansi 2024 Undiksha

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *