GIANYAR, BALIPOST.com – Daerah aliran sungai (DAS) di Bali menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Sebab, DAS merupakan salah satu tempat rumahnya air hujan, di samping hutan. Sementara, air tawar yang dikonsumsi sumbernya adalah air hujan. Sehingga, wajib bagi kita untuk menangkap atau menampung dan memasukkannya air hujan ke dalam tanah.
“Itulah salah satu fungsi daripada DAS. Apabila DAS sebagai salah satu rumah air ini terkoyak, rusak, hancur, maka berarti air di saat hujan tidak punya rumah, maka dia akan kembali ke laut. Ini sangat disayangkan. Untuk itulah, Forum DAS sangat konsen terhadap penyelamatan DAS dalam rangka penyelamatan sumber daya air yang berkelanjutan,” ujar Ketua Forum Koordinasi Pengelolaan DAS Provinsi Bali, Dr. I Made Sudarma, M.S., disela-sela Workshop Forum DAS Bali bersama Kopernik tentang Konservasi Air melalui Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL): Mewujudkan Masa Depan Berkelanjutan”, di Mas Ubud, Gianyar, Kamis (21/11).
Sudarma mengatakan dalam situasi perubahan iklim yang terjadi saat ini, dimana kemarau panjang dan hujan susah diprediksi mesti diwaspadai dengan membuat tempat atau rumah untuk menampung air hujan. Sebab, ketika tanah kering karena kemarau panjang dan tiba-tiba turun hujan dengan intensitas yang tinggi akan terjadi banjir dan longsor karena tidak ada tempat untuk menampung air tersebut. Itulah pentingnya masyarakat membuat rumah air hujan.
Lebih lanjut dikatakan, bahwa DAS atau hutan letaknya di hulu, sehingga rumahnya air hujannya ada di hulu. Dan selama ini masyarakat yang tinggal dihulu wajib dan bertanggung jawab menampung dan menyelamatkan air hujan tersebut. Sedangkan, masyarakat yang tinggal di hilir sebagai penikmat air tersebut. Namun, ketika air sudah habis, masyarakat hilir menyalahkan masyarakat hulu. Situasi ini sesuatu yang tidak berkeadilan, karena orang hulu disuruh menjaga air, tetapi orang hilir hanya sebagai penikmat air tersebut. Untuk itu, Forum DAS Bali mendorong agar orang hilir agar ikut memperhatikan orang hulu di dalam menjaga hutan ataupun DAS.
Dari konsep inilah, dikatakan lahir pembayaran jasa lingkungan (PJL). Artinya, orang hilir yang menikmati manfaat dari air yang dijaga oleh orang hulu, wajib hukumnya memberikan konvensasi kepada orang hulu. PJL ini memungkinkan penggunaan air memberikan konvensasi kepada mereka yang menjaga dan melestarikan kualitas serta kuantitas air untuk mendorong penggunaan air yang berkelanjutan. Ada 2 implementasi PJL di kegiatan percontohan yang dilakukan. Yaitu, PJL sumur resapan air untuk meningkatkan penyerapan air dan mengatasi permeabilitas tanahnyang rendah, dan PJL Agroforestri Regeneratif untuk meningkatkan kesehatan tanah dan penyerapan air.
Bahkan, Sudarma menegaskan bahwa konsep ini sudah difikirkan agar bagaimana masyarakat bisa menjaga lingkungan untuk mencegah erosi dan longsor, namun mereka juga mendapat manfaat. Seperti, bagaimana masyarakat sebagai petani agar beralih untuk menerapkan pertanian ramah lingkungan atau pertanian organik tanpa mengurangi pendapatan. Sehingga, jangan sampai pertanian jadi korban atas eksperimen yang dilakukan ini.
Sudarma mengatakan bahwa DAS terbesar yang ada di Bali saat ini adalah DAS Ayung yang melintasi 5 kabupaten dan 1 kota di Bali. Namun, keberadaan lahan DAS ini mulai kritis, terutama di lahan hulu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya lahan hijau akibat konversi area hijau dan terjadinya pelanggaran tata guna lahan untuk pembangunan dan wisata. Faktor lainnya, yaitu ekstraksi air bawah tanah melampaui batas 70 % oleh karena ekstraksi individual. Kontaminasi air dan tanah yang diakibatkan oleh kontaminasi sampah dan meningkatkan intrusi air juga menjadi faktor penyebabnya. Semua ini terjadi dikarenakan kurangnya upaya preservasi air yang terkoordinasi di DAS.
Berdasarkan data Status Daya Dukung Air Pulau Bali yang diunggah Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2021 diperkirakan status air di Bali akan menjadi defisit pada 2025. Data mencatat kebutuhan air di Bali pada 2021 mencapai 5.951,92 liter per detik dan akan menjadi 7.991,29 liter per detik pada 2025. Kondisi defisit air di Bali pada 2025 berpotensi terjadi jika kapasitas infrastruktur penyediaan air baku di Bali belum ada penambahan kapasitas.
“Inilah kemudian kami kerjasamakan dengan Kopernik untuk membuat berbagai macam percontohan bagaimana kita menjaga air hujan agar tetap bisa mengalir tanpa ada banjir dan longsor, tetapi kalau air itu berlimpah dalam bentuk air permukaan mari kita masukkan ke dalam sumur air resapan,” tandas Sudarma. (Winata/Balipost)